Episode Cakrawala

Hijrah Nol Sampah #3

Sebagaimana yang sempat saya singgung di tulisan sebelumnya, salah satu faktor yang mendorong gaya hidup penuh sampah saya adalah paradigma yang keliru tentang kepemilikan barang.

Dulu, waktu masih muda, saya pernah berpikir, untuk barang tertentu seperti sepatu, saya tidak perlu membeli yang mahal dan bagus, cukup yang murah dan terlihat cantik. Jika saya sedang punya uang lebih, ya saya akan membeli dua atau tiga sepatu yang murah. Alasannya semata karena model sepatu wanita itu lucu-lucu, dan saya ingin punya semuanya. Cepat rusak tidak masalah, justru dengan begitu saya jadi punya alasan untuk kembali membeli yang baru. Wkwkwk.

Soal baju, pemikiran saya berbeda lagi. Waktu saya kecil, ibu saya pernah berpesan: jika saya punya dua baju baru, maka sumbangkan dua buah baju saya yang lama. Tentu saja ibu saya mengatakan ini dengan filosofi yang mulia, yakni agar saya tidak hidup dengan baju berlebihan dan agar saya berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Tapi, lama kelamaan, pesan ibu saya ini saya manfaatkan betul untuk hidup konsumtif. Saya jadi terbiasa membeli baju yang saya suka kapan pun saya mau. Lalu, untuk mengurangi rasa bersalah, saya donasikan baju lama saya sejumlah baju baru yang saya beli.

Setahun terakhir ini, saya bahkan membeli baju hingga beberapa ronde dalam rentang lima bulan saja. Satu rondenya bisa dua baju saya beli sekaligus. Awalnya memang karena saya kehabisan stok baju hamil dan baju yang ada tidak mampu lagi menampung pinggang dan perut buncit saya. Tapi semakin ke sini, saya bisa membeli baju hanya karena baju itu C.A.K.E.P.

Hal ini diperparah dengan fenomena media sosial yang membuat saya tidak perlu searching untuk menemukan baju-baju bagus, karena mereka dengan sukarela menampilkan dirinya di hadapan saya saat saya scrolling, yang bahkan bukan dengan niat belanja baju.

Hingga suatu hari, iseng-iseng saya menghitung jumlah gamis dan baju saya, dan ternyata jumlahnya ‘ih wow’. Jumlah yang sebenarnya mungkin cukup untuk bertahan hidup lima tahun ke depan. Akhirnya, pasca lebaran tahun ini, saya bertekad untuk tidak membeli baju setidaknya sampai akhir tahun. Jadi, mbak-mbak para penjual baju langganan saya, plis tawarkan baju-baju lucunya tahun depan aja ya. XD

Itu baru dua contoh dari sekian banyak paradigma saya yang keliru tentang kepemilikan barang. Belum lagi kecenderungan saya untuk memilih dan menggunakan barang sekali pakai. Yang jelas, semuanya bermuara pada satu fakta: membuat alam semakin berantakan karena sampah.

Di pekan ketiga Kelas Intensif Hijrah Nol Sampah ini, saya mendapat pengetahuan baru tentang konsep Reuse. Setelah Refuse dan Reduce, Reuse merupakan salah satu cara yang juga dapat secara signifikan mengurangi sampah.

Jika didefinisikan, Reuse adalah menggunakan kembali barang yang kita miliki atau kita konsumsi tanpa mengubah fungsinya, meskipun kita dapat menambahkan kreasi terhadap barang tersebut agar terlihat baru.

Singkatnya, kalau bisa tidak membeli barang baru, sebisa mungkin jangan beli. Usahakan dulu mendapatkan barang yang kita butuhkan dengan cara selain beli baru, misalnya menggunakan barang dengan fungsi sama yang sudah ada di rumah, meminjam pada orang lain, menukarnya dengan barang tertentu, membeli barang second hand, atau membuat sendiri. Jika langkah-langkah tersebut tidak lagi bisa dilakukan, baru putuskan untuk membeli. Saat membeli pun, usahakan pilih barang yang tahan lama dan bisa digunakan berulang kali.

Ada beberapa istilah lain yang masih termasuk dalam kategori reuse, diantaranya repurpose (menggunakan barang untuk fungsi yang sama, namun untuk tujuan berbeda), repair (memperbaiki barang yang rusak), dan regrow (menanam kembali sisa sayuran).

Nah, kali ini saya akan melaporkan upaya saya dalam me-reuse beberapa barang yang ada di rumah.

Pertama, kardus bekas packaging belanja online.

Belanja online memang menjadi kebiasaan keluarga kami setahun terakhir ini (walaupun ke depannya kebiasaan ini harus dikurangi ya *tutup muka*). Dan dari hasil belanja online itu, banyak sekali kardus bekas yang terkumpul. Saya yang sejak dulu memang suka ‘bebikinan’, seringkali excited melihat kardus bekas yang masih kokoh. Meski belum tahu akan dibuat apa, kardus-kardus yang masih mulus menggoda itu selalu saya larang untuk dibuang, sehingga tersimpanlah beberapa kardus berukuran sama di pojok ruangan, menunggu treatment dari saya.

Sampai akhirnya, kebutuhan itu datang.

Ceritanya, beberapa waktu terakhir ini saya sedang mempelajari dan pelan-pelan menerapkan Konmari Method. Fase membuang sudah saya kerjakan di pekan-pekan lalu, dan tibalah saya di fase menyimpan. Saat saya memutar otak bagaimana akan menyimpan barang-barang saya, lalu mata saya tertuju pada tumpukan kardus itu, saya seperti menemukan momen ‘pucuk dicinta, ulam pun tiba’. 😀

Maka, segeralah saya modifikasi kardus-kardus tersebut untuk dijadikan wadah pakaian saya dan anak-anak. Karena ukuran kardusnya cukup besar, maka satu kardus saya bagi menjadi dua sama besar. Tujuan utamanya adalah agar muat dalam rak lemari saya, dan bonusnya, kardus-kardus itu jadi terlihat kece karena ukurannya seragam.

Saat kardus bekas belanja online kurang, saya pun berburu dan menyita kotak sepatu bekas yang ada di rumah (yang mana ternyata banyak XD), untuk menambah jumlah wadah agar pakaian pada masing-masing wadah bisa diletakkan secara leluasa, tidak terlalu berdesakan sehingga sulit diambil.

Selanjutnya, supaya enak dilihat, masing-masing kardus saya lapisi dengan kertas kado lucu. Dan taraaaaa…

Ini contoh penampakan isi tiap kotaknya:

IMG_20180822_130238

IMG_20180822_130459

Dan ini penampakan setelah kotak diletakkan di rak dalam lemari:

IMG_20180824_171959

IMG_20180821_231317

Setelah selesai, saya merasa lemari saya lebih lapang dan rapi. Ditambah lagi ada sensasi menyenangkan dari semangat hijrah nol sampah. Happy-lah pokoknya. 😀

Berikutnya, barang kedua yang saya reuse adalah popok kain bertali.

Saya sempat singgung juga di tulisan sebelumnya, bahwa sebagai upaya mengurangi penggunaan popok sekali pakai, saya mencoba konsisten memakaikan clodi pada anak kedua saya, minimal pada siang hari ketika di rumah.

Nah, jumlah clodi yang saya beli ketika anak pertama sebanyak 6 buah. Semuanya tipe pocket, lengkap dengan insert bamboo-nya. Pada anak kedua ini, saya pun menambah jumlah clodi sebanyak dua buah, tapi kali ini yang saya beli adalah clodi tipe cover.

Setelah diaplikasikan, sampailah saya pada tantangan pertama, yakni kekurangan stok. Bukan karena tidak sempat mencuci, melainkan karena insert-nya agak lama keringnya.

Sempat terpikir oleh saya untuk membeli tambahan insert-nya saja, karena pada clodi tipe cover, bila anak tidak poop, cover-nya cenderung kering dan bisa segera dipakai lagi, hanya perlu mengganti insert atau prefold-nya.

Tapi kemudian saya ingat, saya masih punya stok popok kain bertali, dan berpikir mungkin barang itu bisa saya manfaatkan.

Popok tali ini saya beli ketika anak pertama lahir dan hanya digunakan selama satu bulan pertama ketika frekuensi poop newborn masih sering. Setelah satu bulan, popok tali itu saya simpan dalam lemari sampai lahir anak kedua. Pada anak kedua pun hanya dipakai selama tiga minggu karena saya terlanjur ketagihan memakai popok sekali pakai. XD

Akhirnya, saya bongkar simpanan popok tali tersebut. Dan setelah saya hitung, jumlahnya masih ada dua lusin. Padahal, setengah dari keseluruhan popok tali sudah sempat saya donasikan karena merasa terlalu banyak (maklum, waktu anak pertama agak emosi belanjanya XD).

Setelah saya cuci bersih, popok tali tersebut saya lipat-lipat hingga menemukan bentuk yang pas untuk dijadikan insert. Kira-kira seperti ini langkahnya:

Pertama, bentangkan popok tali.

IMG_20180824_205421

Kedua, lipat popok tali sebanyak dua kali. Lakukan pada dua popok.

IMG_20180824_205243

Ketiga, tumpuk kedua popok dengan menyamakan sisi-sisinya.

IMG_20180824_205506

Keempat, pasangkan popok tali sebagai insert pada clodi tipe cover.

IMG_20180824_205352

Kelima, clodi siap dipakaikan pada bayi.

Bila dibutuhkan, insert ala ala ini juga bisa digunakan pada clodi tipe pocket.

Saya menggunakan dua lapis popok dengan tujuan agar bisa menampung lebih banyak cairan, tapi juga tidak terlalu tebal ketika dipakaikan.

Popok tali ini tidak terlalu membutuhkan penanganan khusus saat mencucinya. Hanya saja, karena bahannya berupa katun tipis, kemampuannya dalam menyimpan cairan tentu saja tidak semantap bahan yang khusus untuk insert pada clodi pabrikan. Dan karena bayi saya masih ASI Eksklusif, saya memang harus mengecek kondisi popok ini sekitar 1,5 hingga 2 jam sekali, atau ketika si bayi rewel. Memang agak pe’er sih, tapi karena saya banyak menghabiskan waktu di rumah, dan sejauh ini saya memakai clodi memang hanya saat di rumah, jadi bagi saya tidak masalah. Lagipula, mengingat insert tambahannya sudah ada satu lusin, saya tidak lagi pusing bila harus sering menggantinya. Wkwkwk.

Lalu, kenapa talinya tidak digunting?

Saya sempat berpikir untuk memodifikasi popok tali ini secara permanen dengan memotong talinya dan menjahit tepinya agar menjadi satu sehingga benar-benar menyerupai insert pabrikan. Tapi kemudian saya berpikir lagi, bagaimana jika ternyata bahan popok tali ini bisa bertahan lama, melampaui masa anak kedua saya memakai clodi? Bukankah saya bisa menggunakannya kembali sebagai popok tali untuk newborn berikutnya? Haha. *mohon maafkan saya yang terlalu visioner. XD

Tapi yang jelas, sejauh ini saya merasa talinya tidak mengganggu. Dan lagi, saya belum tahu sampai kapan popok tali ini bisa digunakan sebagai insert. Saat ini, ukurannya pas pada clodi karena size bayi saya masih S. Bila sudah meningkat ke M atau L, mungkin panjang popok tali ini tidak memadai lagi. Jika begitu, berarti saya harus mencari alternatif insert lain dan kembali menyimpan popok tali ini untuk digunakan oleh newborn berikutnya *teuteup XD. Karena itulah, saya putuskan untuk membiarkan bentuknya tetap seperti itu.

Nah, sekian laporan reuse dari saya. Bagaimana dengan Anda? 😀

Episode Cakrawala

Hijrah Nol Sampah #2

“Bumi kita bukan warisan nenek moyang kita. Bumi kita adalah titipan anak cucu kita.”

(Anonim)

Jika bicara tentang hijrah nol sampah, bisa dikatakan saya ini harus mulai dari titik nol. Benar-benar nol.

Belajar untuk hidup tanpa sampah bagi saya bukan sekadar hal teknis yang mencakup aktivitas membaca teori, membuat list tentang langkah yang bisa dilakukan, lalu mencobanya satu per satu.

Lebih dari itu, belajar hidup nol sampah bagi saya berarti berperang melawan diri sendiri. Sebab, setelah saya cermati, gaya hidup ‘penuh sampah’ yang saya jalani selama ini, 99%-nya disponsori oleh berbagai sisi negatif yang ada dalam diri saya sendiri, mulai dari pola pikir yang keliru tentang kepemilikan barang, kebiasaan ingin serba praktis, ke’malas-gerak’an, hingga ketidakpedulian.

Beruntungnya, beralih ke gaya hidup nol sampah bisa dimulai secara perlahan, dari hal yang kecil dan sederhana.

Dalam berbagai literatur, ada setidaknya 5 langkah yang bisa dilakukan untuk menerapkan gaya hidup nol sampah, sebagaimana dideskripsikan di dalam gambar ini:5R

Sumber: https://www.pinterest.nz/pin/87116574026585826/

Dalam pekan ini, saya pun mencoba mempraktikkan dua langkah pertama, yakni Refuse dan Reduce. Konon, dua langkah pertama ini adalah cara termudah sekaligus terampuh untuk mencegah munculnya sampah.

Nah, apa yang saya Refuse pekan ini?

Saya memulainya dari menolak kantong belanja plastik atau yang populer juga dengan istilah kantong kresek. Sampah jenis ini termasuk yang mendominasi di rumah saya, sebab sekali belanja ke pasar, saya bisa membawa pulang setidaknya empat atau lima buah kantong kresek. Umumnya memang tidak langsung saya buang, melainkan saya simpan untuk dipakai kembali. Sayangnya, saya memakainya kembali untuk membungkus sampah-sampah tertentu yang tidak bisa digabung dengan sampah lain begitu saja, yang berarti kantong kresek itu tetap saja jadi sampah yang terbuang. Dan bicara tentang sampah plastik yang dibuang, tentunya kita masih ingat dong ya pada video-video menyedihkan yang saya share di tulisan sebelumnya? 🙂

Karena itu, saya ingin belajar untuk menolak kantong kresek ini sebagai upaya mengurangi kontribusi saya dalam pencemaran lingkungan.

Sebenarnya, kalau soal niat, sudah lama saya berniat untuk menolak kantong kresek bekas belanja dan membawa kantong atau tas belanja sendiri. Hanya saja, saya selalu terkendala oleh satu faktor yang cukup mematikan, yakni L.U.P.A. Ya, saya selalu lupa membawa tas belanja sendiri dan merasa cukup pede melenggang ke pasar hanya berbekal dompet. Alhasil, sesampainya di pasar, saya yang tidak mungkin menggenggam seluruh belanjaan di telapak tangan saya, terpaksa menerima belanjaan lengkap dengan kantong kresek pembungkusnya. Dan ujungnya jelas, bertambahlah koleksi kantong kresek saya di rumah, yang berarti akan bertambah pula jumlah sampah plastik di muka bumi ini.

Tapi pekan ini berbeda. Ada tekad yang membara di dalam dada saya. Wkwkwk.

Sehari sebelum ke pasar, saya sudah menyiapkan sebuah goodybag besar, dua kantong kresek bekas, dan satu mangkuk kecil bertutup. Mangkuk kecil saya maksudkan untuk meletakkan daging sapi cincang yang ingin saya beli, kantong kresek bekas akan saya gunakan untuk membungkus sayur mayur, dan goodybag akan saya gunakan untuk mengangkut seluruh belanjaan. Loh, kok, masih pakai kantong kresek juga? Iya sih, tapi setidaknya saya tidak mendorong pak penjual untuk mengeluarkan kantong kresek baru. Tujuan utama pemakaian kantong kresek ini sebenarnya agar goodybag tidak cepat kotor dan sayur mayurnya tidak terlalu berantakan.

Dan alhamdulillah langkah pertama ini berhasil. Kira-kira beginilah penampakannya:

Kantong belanja

Belanjaan zero waste

Apakah ada kendala? Tentuuu~

Kendala pertama adalah rempong! Haha 😀

Biasanya saya bisa pergi dengan tangan leluasa, kini harus bawa dompet di kiri, goodybag di kanan, dan mengendong bayi di depan. Wkwkwk.

Kendala kedua, yaa, harus menghadapi tatapan bingung dari pak penjual dan pembeli lain yang ada di samping.

Tapi, kendala-kendala itu tidak bermakna besar bila dibandingkan bahagianya hati saya karena berhasil mengurangi sampah. Sungguh, bahagiaaa sekali. Dan sejujurnya, ‘nagih’ sih melakukan ini. Semoga saja benar istiqomah yaa… XD

Oke, itu yang pertama.

Jenis sampah kedua yang coba saya Refuse pekan ini adalah makanan dan minuman berkemasan plastik.

Jika sedang di rumah, mungkin tidak terlalu sulit ya melakukan itu.

Nah, bagaimana ketika sedang pergi ke luar rumah? Ini yang saya coba selama dua hari kemarin. Dan alhamdulillah berhasil!

Yang saya persiapkan di rumah tidak banyak, hanya botol minum sendiri. Tujuan bepergian kami saat itu memang hanya ke rumah saudara sehingga saya yakin disana saya bisa makan pakai piring dan minum dengan gelas. Meski begitu, saya sadar selama di mobil, saya sering merasa haus, dan minuman yang tersedia di mobil hanyalah air minum dalam kemasan (AMDK). Untuk mencegah munculnya sampah dari penggunaan AMDK itu, saya pun membawa botol minum sendiri. Alhamdulillah langkah ini tidak menemui kendala berarti.

IMG_20180818_213646 (1)

Sore harinya, kami pun berkunjung ke rumah saudara lainnya. Di sana, tuan rumah menyediakan teh hangat dalam gelas dan senampan AMDK. Awalnya, saya memilih teh hangat itu untuk menghindari AMDK. Dan merasa cukup puas dengan keputusan itu.

Tapi, ternyata oh ternyata, setelah teh hangat di gelas saya habis, sang tuan rumah menyediakan makan besar! Endingnya pun tertebak, setelah makan, saya kembali haus. Wkwkwk.

Saya pun mencari cara agar sebisa mungkin tidak mengambil AMDK untuk menghilangkan haus saya. Dan, aha! Di pojok ruangan terlihat teko air minum berisi air putih. Awalnya saya agak ragu untuk meminta minum dari teko itu, karena teko itu tidak secara khusus disuguhkan oleh tuan rumah untuk kami. Ah, tapi saya pikir, jika tidak dicoba, saya juga tidak tahu hasilnya. Akhirnya, saya beranikan diri meminta izin untuk minum dari teko itu menggunakan gelas teh saya sebelumnya. Alhamdulillah diizinkan. Lega sekali rasanya. Dan lagi-lagi, bahagiaaa sekali berhasil melawan keinginan ‘serba praktis’.

Keesokan harinya, saat menghadiri acara pengajian, saya kembali membekali diri dengan botol minum sendiri. Sayangnya, untuk yang kali ini, saya hanya berhasil menolak AMDK-nya saja, sedangkan kue-kue yang disuguhkan dalam kotak tidak bisa saya tolak atau saya minta dengan kotak makan sendiri. Agak sedih karena merasa tidak optimal. Tapi, yah, namanya juga berproses yaa..

Semoga di lain waktu saya bisa lebih militan lagi dalam upaya menolak makanan dan minuman dalam kemasan. XD

Setelah Refuse, sekarang kita bicara Reduce.

Apa yang saya Reduce pekan ini?

Pertama, popok sekali pakai. Sampah jenis ini juga termasuk dominan di rumah saya. Karenanya, saya mencoba menguranginya dengan memakai cloth diaper (clodi) ketika sedang di rumah.

Sebenarnya, saya sudah mulai membeli clodi sejak anak pertama. Hanya saja, saya hanya bertahan menggunakannya selama dua minggu. Selain karena tidak terkejar mencucinya, juga karena saya merasa clodi tersebut sering bocor (yang belakangan saya tahu, itu terjadi karena saya tidak melakukan prewash sesuai instruksi, wkwkwk).

Pada anak kedua ini, saya mencoba menyemangati diri lagi memakaikan clodi, yang meski menambah beban cucian saya, tapi sangat signifikan mengurangi limbah popok sekali pakai. Jika tidak sedang bepergian, jumlah popok sekali pakai yang biasanya habis 3 atau 4 buah dalam satu hari, bisa berkurang menjadi 1 buah saja. Alhamdulillah. 😀

Clodi

Kedua, tissue.

Hmm, saya termasuk yang mudah sekali menggunakan tissue untuk segala macam keperluan, mulai dari membersihkan hidung anak yang sedang pilek hingga mengelap air yang tumpah. Alasannya apalagi kalau bukan karena tissue bisa langsung dibuang, tidak perlu dicuci atau dibilas seperti sapu tangan, lap tangan, atau lap pel. Ujung-ujungnya memang karena malas gerak lagi kan? :’D

Saya tidak sadar, bahwa setiap kali saya menghabiskan 20 lembar tissue saja, saya sudah membunuh satu pohon berusia 6 tahun (on instagram @koko_ardianto). Entah berapa pohon yang sudah saya babat selama ini? T_T

Akhirnya, pekan ini, saya coba kumpulkan berbagai jenis lap kain yang bisa menggantikan peran tissue dan mencoba konsisten menggunakannya.

Kadang, jika butuh cepat, memang gatal rasanya ingin mengambil tissue, apalagi stok tissue di rumah masih banyak. Tapi saya mencoba mengatasinya dengan membayangkan pohon-pohon yang saya babat itu setiap kali melihat kotak tissue. Sejauh ini masih berhasil dan saya akhirnya mundur teratur untuk kemudian mengambil lap kain. 😀

Lap tangan

Hal yang juga membuat saya semangat adalah ketika saya menemukan handuk lap tangan baru yang belum pernah dibuka selama ini (entah hadiah darimana saya pun lupa :”D).

Handuk lucu ini, selain bisa menjadi pengingat dan penyemangat saya, juga sangat bisa saya manfaatkan untuk mengajak anak saya mengurangi penggunaan tissue. 😀

Lap tangan 2

Nah, itulah sedikit langkah yang sudah saya lakukan. Doakan semoga saya istiqomah menjalankannya yaa. 😀

Episode Cakrawala

Hijrah Nol Sampah #1

“Orang bijak mengurus sampahnya sendiri.”

(Anonim)

Kalimat manis nan merdu didengar itu sudah sampai di telinga saya sejak saya duduk di bangku SMA. Sayangnya, merdu didengar tidak lantas menjadi mudah dilakukan. Ya, mengurus sampah sendiri adalah hal yang berat jika hati tak punya tekad kuat. Saya pun termasuk orang yang belum berhasil melaksanakannya. Berbelas tahun sudah berlalu sejak kalimat itu saya dengar, dan saya masih belum juga terampil ‘mengurus’ sampah saya sendiri.

Jika ditanya kemana sampah-sampah saya bermuara selama ini, saya pikir setidaknya ada tiga jalur:

Pertama, didaur ulang (recycle) atau digunakan kembali (reuse).

Sampah berupa kardus biasanya akan saya modifikasi untuk dijadikan kotak penyimpanan barang atau mainan anak. Hanya saja, modifikasi itu hanya sesekali saya lakukan, dan jumlahnya pun tidak sampai 5% dari keseluruhan sampah yang saya dan keluarga saya hasilkan. Jadi ya, jika bicara penyelamatan bumi, daur ulang yang saya lakukan itu tidak begitu menolong. Tetap saja sampah saya masih terbilang banyak.

Selain daur ulang, ada juga sampah yang saya gunakan kembali, biasanya sampah berupa kantong kresek bekas belanja di pasar. Seringnya, kantong kresek itu saya gunakan lagi untuk membungkus sampah popok sekali pakai sebelum akhirnya diletakkan di tempat sampah. Eh, lho, ujung-ujungnya tetap saja kresek itu jadi sampah yang dibuang ya? Wkwkwk.

Kedua, dibakar.

Sebelum tersosialisasinya aturan tentang larangan membakar sampah di pekarangan rumah, sampah-sampah yang dihasilkan di rumah saya hampir seluruhnya dibakar, termasuk sampah yang lamaaaaa sekali terbakarnya, yaitu popok sekali pakai.

Saat itu, belum ada kesadaran bahwa pembakaran itu menyelesaikan masalah sampah (tepatnya melenyapkan tumpukan sampah) di satu sisi, namun menimbulkan masalah baru di sisi lain. Beragam jenis zat berbahaya, mulai dari yang menyerang pernafasan, mengganggu pertumbuhan anak, hingga yang memicu kanker, bisa muncul dari sini.

Beruntung, sejak beberapa tetangga melahirkan bayi di waktu yang berdekatan, pengurus rukun warga kembali aktif mengingatkan para warga agar tidak lagi membakar sampah di pekarangan rumah. Kami pun berhenti membakar sampah demi bayi-bayi mungil itu. Sebagai gantinya, kami mengambil jalur berikutnya…

Ketiga, dipasrahkan kepada petugas pengangkut sampah.

Pengurus rukun warga merekomendasikan agar kami menggunakan jasa petugas pengangkut sampah. Mereka akan datang dan mengambil sampah di rumah kami dua atau tiga kali dalam seminggu dan kami membayar jasa mereka setiap awal bulan. Kemana sampah kami mereka angkut? Seharusnya sih ke tempat penampungan sampah ya. Setidaknya, itulah yang sekilas saya dengar. Tapi, tentang bagaimana sampah itu dikelola, entahlah, saya tidak tahu, dan tidak begitu peduli. Bagi saya kala itu, membayar mereka berarti melepaskan beban pikiran tentang kemana sampah saya pergi.

Ya, itulah saya dulu, begitu mudahnya merasa ‘aman’ ketika sampah saya berhasil hilang dari pandangan, begitu mudahnya merasa ‘selesai’ ketika melihat petugas pengangkut sampah berlalu dari hadapan saya dengan tumpukan sampah yang menjuntai.

Sampai akhirnya, saya menemukan video ini beberapa pekan lalu:

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=dbavqPrS8Ns

Pekik kesakitan penyu itu terus terngiang di kepala saya hingga berhari-hari setelahnya, seolah ingin menyentak kesadaran saya bahwa kelalaian saya dari ‘mengurus’ sampah saya sendiri bukanlah sesuatu yang baik-baik saja, bahwa ketidakpedulian saya tentang kemana sampah saya bermuara ternyata sangat berpotensi memakan korban.

Terlebih lagi, video tersebut ternyata hanyalah pintu gerbang yang mengantarkan saya pada video-video lain yang lebih mencengangkan, seperti ini:

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=PFzYnLI9xxw

Ini:

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=Sp572udnPVg

Dan ini:

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=jOe9nV21Tlw&t=65s

Jika ditelusuri lebih jauh, masih banyak video lain yang akan membuat kita merasa perlu mengambil jeda dan mengevaluasi lagi dimana kira-kira sampah kita akan berhenti, dan apa yang bisa kita lakukan untuk ‘mengurus’nya.

Saya tahu, memutuskan untuk hijrah nol sampah tidaklah mudah, tapi saya rasa, kita bisa mulai dari yang termudah.

Membawa kantong belanja sendiri, membawa botol minum dan tempat makan sendiri, menggunakan popok kain, memanfaatkan kertas bekas, merawat pakaian agar bisa dipakai dalam jangka waktu yang lama, dan menggunakan sapu tangan untuk menghemat penggunaan tissue baru sebagian kecil dari sekiiiiiaaan banyak pilihan langkah yang bisa kita ambil untuk memulai hijrah nol sampah.

Sekarang, tinggal menjawab pertanyaan terpentingnya: maukah kita bergerak? 🙂