Sebagaimana yang sempat saya singgung di tulisan sebelumnya, salah satu faktor yang mendorong gaya hidup penuh sampah saya adalah paradigma yang keliru tentang kepemilikan barang.
Dulu, waktu masih muda, saya pernah berpikir, untuk barang tertentu seperti sepatu, saya tidak perlu membeli yang mahal dan bagus, cukup yang murah dan terlihat cantik. Jika saya sedang punya uang lebih, ya saya akan membeli dua atau tiga sepatu yang murah. Alasannya semata karena model sepatu wanita itu lucu-lucu, dan saya ingin punya semuanya. Cepat rusak tidak masalah, justru dengan begitu saya jadi punya alasan untuk kembali membeli yang baru. Wkwkwk.
Soal baju, pemikiran saya berbeda lagi. Waktu saya kecil, ibu saya pernah berpesan: jika saya punya dua baju baru, maka sumbangkan dua buah baju saya yang lama. Tentu saja ibu saya mengatakan ini dengan filosofi yang mulia, yakni agar saya tidak hidup dengan baju berlebihan dan agar saya berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Tapi, lama kelamaan, pesan ibu saya ini saya manfaatkan betul untuk hidup konsumtif. Saya jadi terbiasa membeli baju yang saya suka kapan pun saya mau. Lalu, untuk mengurangi rasa bersalah, saya donasikan baju lama saya sejumlah baju baru yang saya beli.
Setahun terakhir ini, saya bahkan membeli baju hingga beberapa ronde dalam rentang lima bulan saja. Satu rondenya bisa dua baju saya beli sekaligus. Awalnya memang karena saya kehabisan stok baju hamil dan baju yang ada tidak mampu lagi menampung pinggang dan perut buncit saya. Tapi semakin ke sini, saya bisa membeli baju hanya karena baju itu C.A.K.E.P.
Hal ini diperparah dengan fenomena media sosial yang membuat saya tidak perlu searching untuk menemukan baju-baju bagus, karena mereka dengan sukarela menampilkan dirinya di hadapan saya saat saya scrolling, yang bahkan bukan dengan niat belanja baju.
Hingga suatu hari, iseng-iseng saya menghitung jumlah gamis dan baju saya, dan ternyata jumlahnya ‘ih wow’. Jumlah yang sebenarnya mungkin cukup untuk bertahan hidup lima tahun ke depan. Akhirnya, pasca lebaran tahun ini, saya bertekad untuk tidak membeli baju setidaknya sampai akhir tahun. Jadi, mbak-mbak para penjual baju langganan saya, plis tawarkan baju-baju lucunya tahun depan aja ya. XD
Itu baru dua contoh dari sekian banyak paradigma saya yang keliru tentang kepemilikan barang. Belum lagi kecenderungan saya untuk memilih dan menggunakan barang sekali pakai. Yang jelas, semuanya bermuara pada satu fakta: membuat alam semakin berantakan karena sampah.
Di pekan ketiga Kelas Intensif Hijrah Nol Sampah ini, saya mendapat pengetahuan baru tentang konsep Reuse. Setelah Refuse dan Reduce, Reuse merupakan salah satu cara yang juga dapat secara signifikan mengurangi sampah.
Jika didefinisikan, Reuse adalah menggunakan kembali barang yang kita miliki atau kita konsumsi tanpa mengubah fungsinya, meskipun kita dapat menambahkan kreasi terhadap barang tersebut agar terlihat baru.
Singkatnya, kalau bisa tidak membeli barang baru, sebisa mungkin jangan beli. Usahakan dulu mendapatkan barang yang kita butuhkan dengan cara selain beli baru, misalnya menggunakan barang dengan fungsi sama yang sudah ada di rumah, meminjam pada orang lain, menukarnya dengan barang tertentu, membeli barang second hand, atau membuat sendiri. Jika langkah-langkah tersebut tidak lagi bisa dilakukan, baru putuskan untuk membeli. Saat membeli pun, usahakan pilih barang yang tahan lama dan bisa digunakan berulang kali.
Ada beberapa istilah lain yang masih termasuk dalam kategori reuse, diantaranya repurpose (menggunakan barang untuk fungsi yang sama, namun untuk tujuan berbeda), repair (memperbaiki barang yang rusak), dan regrow (menanam kembali sisa sayuran).
Nah, kali ini saya akan melaporkan upaya saya dalam me-reuse beberapa barang yang ada di rumah.
Pertama, kardus bekas packaging belanja online.
Belanja online memang menjadi kebiasaan keluarga kami setahun terakhir ini (walaupun ke depannya kebiasaan ini harus dikurangi ya *tutup muka*). Dan dari hasil belanja online itu, banyak sekali kardus bekas yang terkumpul. Saya yang sejak dulu memang suka ‘bebikinan’, seringkali excited melihat kardus bekas yang masih kokoh. Meski belum tahu akan dibuat apa, kardus-kardus yang masih mulus menggoda itu selalu saya larang untuk dibuang, sehingga tersimpanlah beberapa kardus berukuran sama di pojok ruangan, menunggu treatment dari saya.
Sampai akhirnya, kebutuhan itu datang.
Ceritanya, beberapa waktu terakhir ini saya sedang mempelajari dan pelan-pelan menerapkan Konmari Method. Fase membuang sudah saya kerjakan di pekan-pekan lalu, dan tibalah saya di fase menyimpan. Saat saya memutar otak bagaimana akan menyimpan barang-barang saya, lalu mata saya tertuju pada tumpukan kardus itu, saya seperti menemukan momen ‘pucuk dicinta, ulam pun tiba’. 😀
Maka, segeralah saya modifikasi kardus-kardus tersebut untuk dijadikan wadah pakaian saya dan anak-anak. Karena ukuran kardusnya cukup besar, maka satu kardus saya bagi menjadi dua sama besar. Tujuan utamanya adalah agar muat dalam rak lemari saya, dan bonusnya, kardus-kardus itu jadi terlihat kece karena ukurannya seragam.
Saat kardus bekas belanja online kurang, saya pun berburu dan menyita kotak sepatu bekas yang ada di rumah (yang mana ternyata banyak XD), untuk menambah jumlah wadah agar pakaian pada masing-masing wadah bisa diletakkan secara leluasa, tidak terlalu berdesakan sehingga sulit diambil.
Selanjutnya, supaya enak dilihat, masing-masing kardus saya lapisi dengan kertas kado lucu. Dan taraaaaa…
Ini contoh penampakan isi tiap kotaknya:
Dan ini penampakan setelah kotak diletakkan di rak dalam lemari:
Setelah selesai, saya merasa lemari saya lebih lapang dan rapi. Ditambah lagi ada sensasi menyenangkan dari semangat hijrah nol sampah. Happy-lah pokoknya. 😀
Berikutnya, barang kedua yang saya reuse adalah popok kain bertali.
Saya sempat singgung juga di tulisan sebelumnya, bahwa sebagai upaya mengurangi penggunaan popok sekali pakai, saya mencoba konsisten memakaikan clodi pada anak kedua saya, minimal pada siang hari ketika di rumah.
Nah, jumlah clodi yang saya beli ketika anak pertama sebanyak 6 buah. Semuanya tipe pocket, lengkap dengan insert bamboo-nya. Pada anak kedua ini, saya pun menambah jumlah clodi sebanyak dua buah, tapi kali ini yang saya beli adalah clodi tipe cover.
Setelah diaplikasikan, sampailah saya pada tantangan pertama, yakni kekurangan stok. Bukan karena tidak sempat mencuci, melainkan karena insert-nya agak lama keringnya.
Sempat terpikir oleh saya untuk membeli tambahan insert-nya saja, karena pada clodi tipe cover, bila anak tidak poop, cover-nya cenderung kering dan bisa segera dipakai lagi, hanya perlu mengganti insert atau prefold-nya.
Tapi kemudian saya ingat, saya masih punya stok popok kain bertali, dan berpikir mungkin barang itu bisa saya manfaatkan.
Popok tali ini saya beli ketika anak pertama lahir dan hanya digunakan selama satu bulan pertama ketika frekuensi poop newborn masih sering. Setelah satu bulan, popok tali itu saya simpan dalam lemari sampai lahir anak kedua. Pada anak kedua pun hanya dipakai selama tiga minggu karena saya terlanjur ketagihan memakai popok sekali pakai. XD
Akhirnya, saya bongkar simpanan popok tali tersebut. Dan setelah saya hitung, jumlahnya masih ada dua lusin. Padahal, setengah dari keseluruhan popok tali sudah sempat saya donasikan karena merasa terlalu banyak (maklum, waktu anak pertama agak emosi belanjanya XD).
Setelah saya cuci bersih, popok tali tersebut saya lipat-lipat hingga menemukan bentuk yang pas untuk dijadikan insert. Kira-kira seperti ini langkahnya:
Pertama, bentangkan popok tali.
Kedua, lipat popok tali sebanyak dua kali. Lakukan pada dua popok.
Ketiga, tumpuk kedua popok dengan menyamakan sisi-sisinya.
Keempat, pasangkan popok tali sebagai insert pada clodi tipe cover.
Kelima, clodi siap dipakaikan pada bayi.
Bila dibutuhkan, insert ala ala ini juga bisa digunakan pada clodi tipe pocket.
Saya menggunakan dua lapis popok dengan tujuan agar bisa menampung lebih banyak cairan, tapi juga tidak terlalu tebal ketika dipakaikan.
Popok tali ini tidak terlalu membutuhkan penanganan khusus saat mencucinya. Hanya saja, karena bahannya berupa katun tipis, kemampuannya dalam menyimpan cairan tentu saja tidak semantap bahan yang khusus untuk insert pada clodi pabrikan. Dan karena bayi saya masih ASI Eksklusif, saya memang harus mengecek kondisi popok ini sekitar 1,5 hingga 2 jam sekali, atau ketika si bayi rewel. Memang agak pe’er sih, tapi karena saya banyak menghabiskan waktu di rumah, dan sejauh ini saya memakai clodi memang hanya saat di rumah, jadi bagi saya tidak masalah. Lagipula, mengingat insert tambahannya sudah ada satu lusin, saya tidak lagi pusing bila harus sering menggantinya. Wkwkwk.
Lalu, kenapa talinya tidak digunting?
Saya sempat berpikir untuk memodifikasi popok tali ini secara permanen dengan memotong talinya dan menjahit tepinya agar menjadi satu sehingga benar-benar menyerupai insert pabrikan. Tapi kemudian saya berpikir lagi, bagaimana jika ternyata bahan popok tali ini bisa bertahan lama, melampaui masa anak kedua saya memakai clodi? Bukankah saya bisa menggunakannya kembali sebagai popok tali untuk newborn berikutnya? Haha. *mohon maafkan saya yang terlalu visioner. XD
Tapi yang jelas, sejauh ini saya merasa talinya tidak mengganggu. Dan lagi, saya belum tahu sampai kapan popok tali ini bisa digunakan sebagai insert. Saat ini, ukurannya pas pada clodi karena size bayi saya masih S. Bila sudah meningkat ke M atau L, mungkin panjang popok tali ini tidak memadai lagi. Jika begitu, berarti saya harus mencari alternatif insert lain dan kembali menyimpan popok tali ini untuk digunakan oleh newborn berikutnya *teuteup XD. Karena itulah, saya putuskan untuk membiarkan bentuknya tetap seperti itu.
Nah, sekian laporan reuse dari saya. Bagaimana dengan Anda? 😀