Episode Komet

New Day

Rabu, 5 September 2012

“Oke. Coba sekarang ukur panjang tangan kanan kalian dengan jengkal.” kataku.

Mereka menurut, meski bingung apa maksudnya.

“Berapa panjangnya?” tanyaku setelah mereka selesai.

“3, Kak.”

“Saya 3,5, Kak.”

“Saya juga, Kak.”

Mereka menyahut riuh rendah.

“Nah, simpan dulu jawaban itu dalam hati. Sekarang, saya minta kalian angkat tangan kanan kalian, lalu hadapkan ke depan, lurus ke arah papan tulis.”

Kuperhatikan beberapa orang melakukannya tanpa banyak tanya, sedang beberapa orang lainnya malah sibuk melihatku dan bertanya.

“Mau ngapain, kak?”

Aku tersenyum. “Lakukan saja dulu.”

Mereka pun melakukannya. Tapi belum selesai aku memberi instruksi, sudah banyak yang mengeluh.

“Mau ngapain sih, Kak?”

“Iya, pegel nih, Kak.”

“Iya…”

Tak kugubris. Aku mau mereka fokus.

“Tidak ada lagi yang bicara. Luruskan tangan kalian ke depan. Hadapkan wajah kalian ke papan tulis dan terus fokus ke sana. Jangan ada yang bergerak, lirak-lirik, atau bercanda dengan temannya.” perintahku lagi.

Suasana lebih tenang sekarang.

“Tahan. Fokus. Nah, sekarang, bayangkan tangan kalian memanjang.” kataku.

“Hah? Haha. Mana mungkin, Kak. Masa tangan bisa panjang sendiri.”

“Iya. Haha.”

Beberapa orang mulai meremehkan. Aku berusaha tetap tenang.

“Tidak ada yang bicara. Konsentrasi dan fokus menghadap papan tulis.”

“Hihihi…”

Alih-alih menurut, mereka malah cekikikan.

“Yang masih tertawa, saya pastikan tidak akan berhasil pada percobaan ini.” ujarku serius.

Suara tawa berkurang, tapi tidak benar-benar hilang. Beberapa anak bahkan masih mendorong-dorong bahu temannya.

 

Fiuh, sulitnya meminta mereka berkonsentrasi. Tapi aku tidak menyerah. Aku hanya butuh setidaknya dua orang yang berhasil.

 

“Bayangkan tangan kalian menjadi panjang. Panjang. Panjang. Fokus. Tahan. Panjang. Panjang.”

“Hihihi…”

Masih saja ada suara. Tapi aku mulai melihat secercah harapan dari dua orang anak yang terlihat baik konsentrasinya. Semoga.

“Tahan. Fokus. Bayangkan tangan kalian terus memanjang. Terus. Panjang. Panjang.”

Aku hening sejenak, memperhatikan mereka, menunggu waktu yang pas.

“Oke. Sekarang, ukur lagi tangan kalian.” kataku.

Aku menunggu sambil berkeliling.

“Ah, sama aja. Nggak ada yang berubah, Kak.” Komentar pertama, dari anak yang tidak berhenti tertawa. Tidak mengherankan.

 

Aku menunggu komentar lain.

 

“Astaga!”

Nah, sebuah suara dari belakang.

“Iya, berubah, Kak.”

Senyumku mengembang. Satu. Aku butuh minimal satu keberhasilan lagi.

“Ya ampun. Saya juga, Kak.”

Senyumku makin lebar. Kuhampiri mereka. Anak-anak lain yang tidak berhasil mengekoriku dengan matanya.

“Rusli, kamu berhasil?”

“Iya, Kak.” kata Rusli takjub.

“Berapa panjang tanganmu awalnya?”

“3, Kak.”

“Sekarang?”

“3 lebih sedikit. Tapi beneran makin panjang, Kak.” Rusli masih tercengang.

Aku tersenyum, lalu beralih ke anak di sebelahnya.

“Yodi?” tanyaku.

“Berubah, Kak. Tadinya 3, sekarang 3,5.” Yodi antusias menjawab.

Aku masih tersenyum.

“Oke, sekarang, coba kalian tekan ujung jari kanan kalian dengan telapak tangan kiri kalian. Dorong ke arah dalam, bayangkan tangan kalian kembali pendek.”

Mereka menurut. Teman-teman mereka masih melongo.

“Sekarang ukur lagi tangan kalian.” kataku. Mereka melakukan tanpa banyak tanya.

“Ya ampun. Jadi 3 lagi, Kak!” Rusli berteriak.

“Yodi?” tanyaku.

Yodi terbengong-bengong hingga tidak bisa menjawab.

“Apa kembali jadi lebih pendek?”

Ia mengangguk pelan. Bingung.

 

Aku tersenyum, berbalik badan, dan kembali berjalan ke depan kelas. Anak-anak yang tadi tidak serius semakin bingung melihatku.

 

“Yang lain…” kataku sambil menatap mereka satu per satu. “Kalian tahu kenapa gagal?”

Mereka menggeleng pelan.

“Karena kalian tidak fokus.”

“Ah, masa sih, Kak?”

“Coba lagi, Kak. Coba lagi, Kak.”

Bagus. Mereka mulai penasaran. Ini yang kuharapkan.

“Oke.” Senyumku.

Percobaan dimulai lagi. Suara-suara sumbang masih terdengar. Kutegaskan lagi pada mereka.

“Yang masih tertawa, saya pastikan gagal.”

Mereka diam. Kali ini, hasilnya lebih memuaskan.

“Ih, iya, Kak. Saya dari 3,5 jadi 4!”

“Iya, saja juga tambah panjang!”

Suara-suara keberhasilan bertambah.

“Ulangi lagi, Kak.”

Yang masih gagal semakin penasaran. Percobaan diulangi sekali lagi. Kali ini seluruhnya berhasil, kecuali dua anak yang memang tidak antusias sejak tadi.

 

Aku tidak bisa memaksa. Semua harus berasal dari diri mereka sendiri.

 

“Oke. Yang masih belum berhasil, kalian bisa coba dan buktikan sendiri di rumah nanti. Nah, sekarang, ada yang bisa jelaskan kenapa bisa seperti itu?”

Mereka diam.

“Karena pikiran, Kak.”

“Oke, ada lagi?”

“Konsentrasi, Kak.”

“Oke. Yang lain?”

“Fokus, Kak.”

“Bagus sekali! Semuanya benar.” kataku senang.

“Percaya atau tidak. Itu semua karena kekuatan pikiran kalian. Kalau kalian pikir tangan panjang, maka tangan kalian akan panjang. Kalau kalian pikir tangan kalian pendek, maka tangan kalian akan pendek.”

 

Aku memberi jeda. Membiarkan mereka mencerna saksama.

 

“Begitu juga dengan matematika. Kalau kalian berpikir matematika itu sulit, ia akan benar-benar menjadi sulit. Tapi kalau kalian pikir matematika itu mudah, maka ia akan benar-benar menjadi mudah.” tandasku.

Hening.

“Kalau kalian masih belum percaya, silakan coba sendiri di rumah. Nanti saat akan mengerjakan PR matematika, coba bayangkan soalnya benar-benar sulit. Lalu kerjakan. Bandingkan dengan ketika kalian membayangkan soalnya mudah untuk diselesaikan. Kalian akan melihat perbedaannya.” tambahku.

Mereka mengangguk-angguk mengerti.

“Kalian percaya sekarang?”

“Percayaaaa.”

Oke, aku pikir cukup.

 

“Sekarang, keluarkan buku tulisnya. Kita mulai pelajaran.”

“Yaaah, kok belajar sih, Kak?”

“Iya nih, games lagi aja, Kak.”

“Iya, males ah matematika. Susah, Kak.”

“Iya. Pusing, Kak.”

 

Haha. Mindset oh mindset.

Benar. Ini hari pertama. Perjuanganku masih panjang. 😀

 

***

 

“Gimana, Kak?”

Kak Hasan, koordinator tingkat SMP, menyapaku di ruang guru.

“Luar biasa.” kataku.

“Lama banget tadi di kelas. Betah?” tanyanya sambil nyengir.

Begitu bel pulang berbunyi, aku memang tidak segera keluar tadi.

“Yah, lumayan. Mereka menarik, kok.” kataku lagi.

“Alhamdulillah kalo gitu.”

“Ini presensinya. Saya pamit dulu, Kak Hasan. Assalamu’alaykum.”

“Oke. Terimakasih, Kak. Wa’alaykumussalam.”

 

Aku melangkah keluar sekolah. Sempat kulirik spanduk di halaman depan: Yayasan Bina Insan Mandiri. Orang lebih mengenalnya dengan sebutan Master: Masjid Terminal. Aku tersenyum. Tak sabar menunggu Rabu depan. 🙂

 

Rumah, 7 September 2012