Episode Cakrawala

Hijrah Nol Sampah #4

Alhamdulillah… setelah sekian purnama, akhirnya seri Hijrah Nol Sampah ini berlanjut juga. 😀

Mohon maafkan keterbatasan saya. Sebenarnya, lamanya tulisan ini keluar bukan hanya karena saya tidak sempat menuliskannya, tapi juga karena dua strategi terakhir dari 5R, yakni Recycle dan Rot, memang termasuk ‘sangat menantang’ bagi saya.

Kenapa begitu?

Hmm. Sebelum cerita lebih banyak, saya ingin sampaikan bahwa tulisan ini akan fokus membahas Recycle, setelah sebelumnya kita bahas tentang Refuse, Reduce, dan Reuse. Pembahasan strategi Rot diusahakan menyusul, tapi untuk waktu yang belum bisa ditentukan ya, karena progress saya sendiri masih nol besar untuk urusan yang satu itu. Hihi. Ampun.

Apa itu recycle? Mudahnya, recycle adalah mengolah kembali barang-barang yang sudah tidak terpakai menjadi sesuatu yang berguna. Biasa dikenal juga dengan istilah daur ulang atau upcycle (menaikkan fungsi barang dari tidak terpakai menjadi barang yang bisa dipakai kembali meski fungsinya berubah dari semula).

Recycle ini diterapkan untuk barang yang tidak bisa kita refuse, reduce, maupun reuse. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah sampah yang akan berakhir mengenaskan di TPA.

Nah, sebelum melakukan recycle, ada tahapan yang mendahului, yaitu memilah sampah. Biasanya, sampah dipilah menjadi beberapa kategori, diantaranya sampah organik, plastik, kertas, kaca, elektronik, metal, dan kain.

Setelah dipilah, kita punya pilihan apakah akan menggarap sendiri jenis-jenis sampah tersebut untuk dijadikan barang tertentu, atau menyerahkannya ke pihak yang bisa mengelolanya dengan lebih tepat, seperti bank sampah, pengepul barang bekas, atau LSM yang bergerak di bidang pengelolaan sampah.

Sebenarnya, pada pekan pertama ketika materi recycle diberikan, saya sudah sempat melakukan recycle terhadap beberapa barang di rumah, diantaranya:

1. Kotak bekas sereal jagung

Saat itu, kebetulan di rumah sedang ada kotak bekas sereal jagung. Bentuknya kokoh dan masih rapi sekali. Karena sayang dibuang, saya sulaplah ia menjadi paper bag. Begini penampakan awalnya:

Dan begini setelah disulap:

2. Handuk yang sudah tidak lembut lagi

Di tulisan sebelumnya, saya sempat me-reuse popok tali untuk jadikan insert clodi. Namun, sesuai dugaan saya, insert ala ala dari popok tali itu tidak memadai lagi ketika bayi semakin besar. Dan benar, saat bayi saya memasuki usia 7 bulan, insert popok tali itu terpaksa dipensiunkan, disimpan kembali untuk bayi berikutnya #eh.

Saya kembali memutar otak. Dorongan untuk beli insert tambahan hampir berhasil menjebak saya jika saja ketika itu saya tidak melongok isi lemari dan menemukan sebuah handuk kecil yang sudah jarang dipakai. Handuk ini secara tampilan masih bersih, namun permukaannya sudah agak kasar sehingga tidak nyaman lagi untuk digunakan.

Akhirnya saya gunting handuk tersebut menjadi 3 bagian, masing-masing saya lipat menjadi dua lapis, lalu saya jahit tepinya. Dan taraaaa, jadilah insert ala ala ini. Hihi..

Kalau soal daya serap, insert handuk ini kece banget, lho! Bahkan mungkin lebih kece dari insert bamboo yang saya miliki sebelumnya. Hanya saja, karena permukaannya agak kasar, insert ini akan membuat tidak nyaman bila bersentuhan dengan kulit bayi langsung, sehingga tidak bisa digunakan pada clodi tipe cover, hanya bisa digunakan pada clodi tipe pocket.

Nah, itu baru 2 barang dari sekian banyak sampah di rumah saya yang berhasil saya recycle. Bagaimana dengan yang lainnya?

Begini, kesalahan terbesar saya di pekan-pekan pertama menerapkan recycle adalah saya memilah dan mengumpulkan sampah sesuai jenisnya tanpa lebih dulu mencari pihak yang bisa menampung sampah terpilah saya. Waktu itu saya berpikir, “Ah, rasa-rasanya saya bisa urus semua sampah saya sendiri.” Maka, setiap ada sampah plastik, langsung saya simpan di satu sudut rumah dengan maksud akan mengolahnya segera menjadi prakarya tertentu. Kertas juga demikian.

Di awal memang bisa saya kerjakan (namanya juga sedang semangat 45 :D). Tapi lama kelamaan, tidak terkejar lagi. Dengan kondisi punya 2 balita yang sedang aktif-aktifnya, saya tidak punya banyak kesempatan untuk berkutat dengan segala macam prakarya itu, sedangkan sampah semakin hari semakin bertumpuk.

Hasilnya: saya stres sendiri. Saya merasa diteror oleh tumpukan sampah saya. Dan akhirnya saya menyerah. Sampah-sampah terpilah itu pun saya pasrahkan lagi ke tong sampah besar untuk diangkut oleh tukang sampah, dan itu berarti mereka akan tercampur kembali dan berakhir di TPA.

Fiuh. Mission failed. Tapi dari situ saya jadi paham mengapa data menyebutkan bahwa sampah yang berhasil di-recycle hanya sedikit dari keseluruhan sampah yang ada di dunia, sebab saya sudah rasakan sendiri, me-recycle sampah itu butuh waktu dan energi. Alangkah baiknya jika kita bisa mengusahakan untuk mencegah sampah dengan refuse, reduce, dan reuse. Karena itu berarti, waktu dan energi yang kita gunakan untuk me-recycle sampah bisa dialihkan ke hal lain yang lebih bermanfaat.

Oke, kembali ke urusan recycle sampah saya di rumah. Karena sampah terpilah tadi sudah saya pasrahkan (kembali) ke tukang sampah, kini saya harus mengatur strategi dari awal lagi.

Kali ini, saya memutuskan bahwa jika saya belum bisa mengolah semua sampah anorganik yang saya hasilkan, maka saya akan mulai mengurus sampah dari yang jumlahnya cukup dominan saja dulu, yaitu kemasan tetrapack.

Kenapa sampah jenis ini cukup dominan di rumah saya?

Sebenarnya, untuk sebagian besar barang konsumsi di rumah, seperti sabun, shampoo, beras, sereal, dll, saya dan keluarga sudah mencoba menerapkan pembelian dalam kemasan besar, bahkan jika memungkinkan kemasan paling besar yang disediakan di toko. Tapi, untuk susu UHT, saya masih membeli dalam kemasan kecil karena frekuensi anak saya meminumnya tidak tentu. Ada kalanya dia minum beberapa kotak dalam sehari, namun ada kalanya juga tidak sama sekali. Saya khawatir jika beli dalam kemasan besar, dan anak saya tidak menghabiskannya dalam 3 hari, susunya akan rusak dan terbuang. Keputusan ini mau tidak mau memang berdampak pada banyaknya sampah kemasan tetrapack di rumah.

Akhirnya, mulailah saya fokus mengurus kemasan tetrapack. Secara umum, saya mengikuti teknik yang dianjurkan oleh Perusahaan Tetra Pak Indonesia ini.

Gambar mungkin berisi: teks

Sumber: https://www.facebook.com/TetraPakID/photos/a.114993329157051/257123861610663/?type=1&theater

Hanya saja, karena saya menyimpannya di rumah dan kemungkinan baru akan terkumpul banyak dalam waktu yang lama, biasanya akan saya cuci sedikit bagian dalamnya. Caranya adalah dengan menggunting ujung tepinya, lalu isi dengan air sambil dikocok-kocok, bilas terus sampai warna susunya hilang dan airnya menjadi bening. Tujuannya adalah agar tidak mengundang semut atau menimbulkan bau.

Terakhir, saya masukkan juga sedotan dan plastik sedotannya ke dalam kemasan. Kira-kira begini penampakannya:

Setelah diolah begini, pe’er saya berikutnya adalah mencari tahu kemana menyalurkannya.

Sebenarnya, saya sudah dapat info bahwa Tetra Pak Indonesia menyediakan dropbox di beberapa titik. Namun, setelah saya cek daftarnya, tidak ada lokasi yang terjangkau oleh emak-emak dengan dua balita begini. Hihi.

Akhirnya, saya cek ulang di beberapa website. Ternyata bisa juga dikirim ke alamat kantor Tetra Pak.

Okelah. Ini mungkin masih lebih mudah karena tidak jauh dari rumah saya ada kantor jasa pengiriman barang.

Maka, setelah terkumpul agak banyak, saya masukkan kemasan tetrapack ini ke dalam kotak bekas sereal, lalu saya bungkus dengan kertas untuk kemudian saya kirim ke kantor Tetra Pak Indonesia.

Dan biaya pengirimannya: Rp9.000. Hmm…

Sepulang dari kantor kurir, saya berpikir ulang. Sebenarnya, di satu sisi saya senang karena bisa menyalurkan sampah tetrapack ini ke pihak yang bisa dengan tepat mengolahnya. Tapi di sisi lain, sepertinya kok tidak efisien ya. Selain memakan biaya besar, pengiriman ini juga akan menghasilkan sampah lainnya, yakni sampah plastik pembungkus paket. Sebab meskipun saya membungkusnya hanya dengan kotak kertas dan dilapisi pembungkus kertas, pihak kurir pasti akan tetap melapisinya lagi dengan plastik agar barangnya aman.

Oke fine. Sepertinya saya memang harus cari penyalur lain.

Saya pun mulai berpikir untuk cari info tentang bank sampah. Ide ini tidak saya follow up sebelumnya karena di wilayah dekat rumah saya, bank sampah tidak terlalu nge-hits. Bahkan, kalau saya tanya ke warga sekitar tentang lokasi bank sampah terdekat, banyak yang bingung dan balik bertanya, “Hah, Gang Sampah, Mbak?”

Xixixi… 😀

Akhirnya, saya mencari info tentang bank sampah terdekat dari internet saja. Ternyata ada. Memang harus dicapai dengan kendaraan, tapi sepertinya cukup bisa jadi solusi untuk saat ini. Saya pun cek ricek kesana, tepatnya ke Bank Sampah RW 3 Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur.

Setelah mengobrol dengan pengurusnya, saya baru tahu bahwa ternyata bank sampah ini adalah salah satu Bank Sampah Percontohan Nasional! Ya ampun, kemana saja saya selama inih? XD

Bank sampah ini menerima cukup banyak jenis sampah, sebagaimana tercantum di daftar harga ini:

Sejak mengunjungi bank sampah ini, saya jadi semangat memilah sampah lagi. Ditambah lagi, sebuah tugas negara mempertemukan saya dengan seorang ibu yang merupakan aktivis sampah yang tinggal tidak jauh dari rumah saya. Beliau biasa membuat ecobrick dan membuat kreasi dari pakaian bekas. Jadi, meski bank sampah tidak menerima plastik kemasan berwarna dan kain bekas, saya merasa tenang karena sudah tahu kemana saya bisa menyalurkannya. Hihi.

Jadilah dua minggu terakhir ini saya mulai memilah sampah lagi. Begini penampakannya sejauh ini:

Di dalam kotak itu ada kemasan tetrapack, kertas bekas, kardus kemasan makanan, sikat gigi bekas, dan botol conditioner bekas. Di dalam tas biru ada potongan-potongan kertas sisa hasil menggunting. Dan terakhir, ada kain perca.

Untuk sampah plastik, penampakannya seperti ini:

Plastik bening itu adalah plastik bekas kemasan makanan, seperti roti tawar. Sedangkan yang ada di dalam wadah biru itu adalah plastik kemasan berwarna yang sudah saya potong-potong. Setelah dicuci dan dikeringkan, plastik berwarna itu memang sengaja langsung saya potong kecil agar tidak makan tempat. Rencananya akan saya kumpulkan dulu hingga penuh, baru saya serahkan ke pembuat ecobrick. Atau jika saya punya kesempatan, mungkin saya akan membuat ecobrick sendiri. Xixixi.

Nah, sekian dulu hasil sharing saya untuk edisi Recycle.

Semoga ada hal bermanfaat yang bisa diambil yaaa..

Semangat go green! 😀

Episode Cakrawala

Hijrah Nol Sampah #3

Sebagaimana yang sempat saya singgung di tulisan sebelumnya, salah satu faktor yang mendorong gaya hidup penuh sampah saya adalah paradigma yang keliru tentang kepemilikan barang.

Dulu, waktu masih muda, saya pernah berpikir, untuk barang tertentu seperti sepatu, saya tidak perlu membeli yang mahal dan bagus, cukup yang murah dan terlihat cantik. Jika saya sedang punya uang lebih, ya saya akan membeli dua atau tiga sepatu yang murah. Alasannya semata karena model sepatu wanita itu lucu-lucu, dan saya ingin punya semuanya. Cepat rusak tidak masalah, justru dengan begitu saya jadi punya alasan untuk kembali membeli yang baru. Wkwkwk.

Soal baju, pemikiran saya berbeda lagi. Waktu saya kecil, ibu saya pernah berpesan: jika saya punya dua baju baru, maka sumbangkan dua buah baju saya yang lama. Tentu saja ibu saya mengatakan ini dengan filosofi yang mulia, yakni agar saya tidak hidup dengan baju berlebihan dan agar saya berbagi kebahagiaan dengan orang lain. Tapi, lama kelamaan, pesan ibu saya ini saya manfaatkan betul untuk hidup konsumtif. Saya jadi terbiasa membeli baju yang saya suka kapan pun saya mau. Lalu, untuk mengurangi rasa bersalah, saya donasikan baju lama saya sejumlah baju baru yang saya beli.

Setahun terakhir ini, saya bahkan membeli baju hingga beberapa ronde dalam rentang lima bulan saja. Satu rondenya bisa dua baju saya beli sekaligus. Awalnya memang karena saya kehabisan stok baju hamil dan baju yang ada tidak mampu lagi menampung pinggang dan perut buncit saya. Tapi semakin ke sini, saya bisa membeli baju hanya karena baju itu C.A.K.E.P.

Hal ini diperparah dengan fenomena media sosial yang membuat saya tidak perlu searching untuk menemukan baju-baju bagus, karena mereka dengan sukarela menampilkan dirinya di hadapan saya saat saya scrolling, yang bahkan bukan dengan niat belanja baju.

Hingga suatu hari, iseng-iseng saya menghitung jumlah gamis dan baju saya, dan ternyata jumlahnya ‘ih wow’. Jumlah yang sebenarnya mungkin cukup untuk bertahan hidup lima tahun ke depan. Akhirnya, pasca lebaran tahun ini, saya bertekad untuk tidak membeli baju setidaknya sampai akhir tahun. Jadi, mbak-mbak para penjual baju langganan saya, plis tawarkan baju-baju lucunya tahun depan aja ya. XD

Itu baru dua contoh dari sekian banyak paradigma saya yang keliru tentang kepemilikan barang. Belum lagi kecenderungan saya untuk memilih dan menggunakan barang sekali pakai. Yang jelas, semuanya bermuara pada satu fakta: membuat alam semakin berantakan karena sampah.

Di pekan ketiga Kelas Intensif Hijrah Nol Sampah ini, saya mendapat pengetahuan baru tentang konsep Reuse. Setelah Refuse dan Reduce, Reuse merupakan salah satu cara yang juga dapat secara signifikan mengurangi sampah.

Jika didefinisikan, Reuse adalah menggunakan kembali barang yang kita miliki atau kita konsumsi tanpa mengubah fungsinya, meskipun kita dapat menambahkan kreasi terhadap barang tersebut agar terlihat baru.

Singkatnya, kalau bisa tidak membeli barang baru, sebisa mungkin jangan beli. Usahakan dulu mendapatkan barang yang kita butuhkan dengan cara selain beli baru, misalnya menggunakan barang dengan fungsi sama yang sudah ada di rumah, meminjam pada orang lain, menukarnya dengan barang tertentu, membeli barang second hand, atau membuat sendiri. Jika langkah-langkah tersebut tidak lagi bisa dilakukan, baru putuskan untuk membeli. Saat membeli pun, usahakan pilih barang yang tahan lama dan bisa digunakan berulang kali.

Ada beberapa istilah lain yang masih termasuk dalam kategori reuse, diantaranya repurpose (menggunakan barang untuk fungsi yang sama, namun untuk tujuan berbeda), repair (memperbaiki barang yang rusak), dan regrow (menanam kembali sisa sayuran).

Nah, kali ini saya akan melaporkan upaya saya dalam me-reuse beberapa barang yang ada di rumah.

Pertama, kardus bekas packaging belanja online.

Belanja online memang menjadi kebiasaan keluarga kami setahun terakhir ini (walaupun ke depannya kebiasaan ini harus dikurangi ya *tutup muka*). Dan dari hasil belanja online itu, banyak sekali kardus bekas yang terkumpul. Saya yang sejak dulu memang suka ‘bebikinan’, seringkali excited melihat kardus bekas yang masih kokoh. Meski belum tahu akan dibuat apa, kardus-kardus yang masih mulus menggoda itu selalu saya larang untuk dibuang, sehingga tersimpanlah beberapa kardus berukuran sama di pojok ruangan, menunggu treatment dari saya.

Sampai akhirnya, kebutuhan itu datang.

Ceritanya, beberapa waktu terakhir ini saya sedang mempelajari dan pelan-pelan menerapkan Konmari Method. Fase membuang sudah saya kerjakan di pekan-pekan lalu, dan tibalah saya di fase menyimpan. Saat saya memutar otak bagaimana akan menyimpan barang-barang saya, lalu mata saya tertuju pada tumpukan kardus itu, saya seperti menemukan momen ‘pucuk dicinta, ulam pun tiba’. 😀

Maka, segeralah saya modifikasi kardus-kardus tersebut untuk dijadikan wadah pakaian saya dan anak-anak. Karena ukuran kardusnya cukup besar, maka satu kardus saya bagi menjadi dua sama besar. Tujuan utamanya adalah agar muat dalam rak lemari saya, dan bonusnya, kardus-kardus itu jadi terlihat kece karena ukurannya seragam.

Saat kardus bekas belanja online kurang, saya pun berburu dan menyita kotak sepatu bekas yang ada di rumah (yang mana ternyata banyak XD), untuk menambah jumlah wadah agar pakaian pada masing-masing wadah bisa diletakkan secara leluasa, tidak terlalu berdesakan sehingga sulit diambil.

Selanjutnya, supaya enak dilihat, masing-masing kardus saya lapisi dengan kertas kado lucu. Dan taraaaaa…

Ini contoh penampakan isi tiap kotaknya:

IMG_20180822_130238

IMG_20180822_130459

Dan ini penampakan setelah kotak diletakkan di rak dalam lemari:

IMG_20180824_171959

IMG_20180821_231317

Setelah selesai, saya merasa lemari saya lebih lapang dan rapi. Ditambah lagi ada sensasi menyenangkan dari semangat hijrah nol sampah. Happy-lah pokoknya. 😀

Berikutnya, barang kedua yang saya reuse adalah popok kain bertali.

Saya sempat singgung juga di tulisan sebelumnya, bahwa sebagai upaya mengurangi penggunaan popok sekali pakai, saya mencoba konsisten memakaikan clodi pada anak kedua saya, minimal pada siang hari ketika di rumah.

Nah, jumlah clodi yang saya beli ketika anak pertama sebanyak 6 buah. Semuanya tipe pocket, lengkap dengan insert bamboo-nya. Pada anak kedua ini, saya pun menambah jumlah clodi sebanyak dua buah, tapi kali ini yang saya beli adalah clodi tipe cover.

Setelah diaplikasikan, sampailah saya pada tantangan pertama, yakni kekurangan stok. Bukan karena tidak sempat mencuci, melainkan karena insert-nya agak lama keringnya.

Sempat terpikir oleh saya untuk membeli tambahan insert-nya saja, karena pada clodi tipe cover, bila anak tidak poop, cover-nya cenderung kering dan bisa segera dipakai lagi, hanya perlu mengganti insert atau prefold-nya.

Tapi kemudian saya ingat, saya masih punya stok popok kain bertali, dan berpikir mungkin barang itu bisa saya manfaatkan.

Popok tali ini saya beli ketika anak pertama lahir dan hanya digunakan selama satu bulan pertama ketika frekuensi poop newborn masih sering. Setelah satu bulan, popok tali itu saya simpan dalam lemari sampai lahir anak kedua. Pada anak kedua pun hanya dipakai selama tiga minggu karena saya terlanjur ketagihan memakai popok sekali pakai. XD

Akhirnya, saya bongkar simpanan popok tali tersebut. Dan setelah saya hitung, jumlahnya masih ada dua lusin. Padahal, setengah dari keseluruhan popok tali sudah sempat saya donasikan karena merasa terlalu banyak (maklum, waktu anak pertama agak emosi belanjanya XD).

Setelah saya cuci bersih, popok tali tersebut saya lipat-lipat hingga menemukan bentuk yang pas untuk dijadikan insert. Kira-kira seperti ini langkahnya:

Pertama, bentangkan popok tali.

IMG_20180824_205421

Kedua, lipat popok tali sebanyak dua kali. Lakukan pada dua popok.

IMG_20180824_205243

Ketiga, tumpuk kedua popok dengan menyamakan sisi-sisinya.

IMG_20180824_205506

Keempat, pasangkan popok tali sebagai insert pada clodi tipe cover.

IMG_20180824_205352

Kelima, clodi siap dipakaikan pada bayi.

Bila dibutuhkan, insert ala ala ini juga bisa digunakan pada clodi tipe pocket.

Saya menggunakan dua lapis popok dengan tujuan agar bisa menampung lebih banyak cairan, tapi juga tidak terlalu tebal ketika dipakaikan.

Popok tali ini tidak terlalu membutuhkan penanganan khusus saat mencucinya. Hanya saja, karena bahannya berupa katun tipis, kemampuannya dalam menyimpan cairan tentu saja tidak semantap bahan yang khusus untuk insert pada clodi pabrikan. Dan karena bayi saya masih ASI Eksklusif, saya memang harus mengecek kondisi popok ini sekitar 1,5 hingga 2 jam sekali, atau ketika si bayi rewel. Memang agak pe’er sih, tapi karena saya banyak menghabiskan waktu di rumah, dan sejauh ini saya memakai clodi memang hanya saat di rumah, jadi bagi saya tidak masalah. Lagipula, mengingat insert tambahannya sudah ada satu lusin, saya tidak lagi pusing bila harus sering menggantinya. Wkwkwk.

Lalu, kenapa talinya tidak digunting?

Saya sempat berpikir untuk memodifikasi popok tali ini secara permanen dengan memotong talinya dan menjahit tepinya agar menjadi satu sehingga benar-benar menyerupai insert pabrikan. Tapi kemudian saya berpikir lagi, bagaimana jika ternyata bahan popok tali ini bisa bertahan lama, melampaui masa anak kedua saya memakai clodi? Bukankah saya bisa menggunakannya kembali sebagai popok tali untuk newborn berikutnya? Haha. *mohon maafkan saya yang terlalu visioner. XD

Tapi yang jelas, sejauh ini saya merasa talinya tidak mengganggu. Dan lagi, saya belum tahu sampai kapan popok tali ini bisa digunakan sebagai insert. Saat ini, ukurannya pas pada clodi karena size bayi saya masih S. Bila sudah meningkat ke M atau L, mungkin panjang popok tali ini tidak memadai lagi. Jika begitu, berarti saya harus mencari alternatif insert lain dan kembali menyimpan popok tali ini untuk digunakan oleh newborn berikutnya *teuteup XD. Karena itulah, saya putuskan untuk membiarkan bentuknya tetap seperti itu.

Nah, sekian laporan reuse dari saya. Bagaimana dengan Anda? 😀

Episode Cakrawala

Hijrah Nol Sampah #2

“Bumi kita bukan warisan nenek moyang kita. Bumi kita adalah titipan anak cucu kita.”

(Anonim)

Jika bicara tentang hijrah nol sampah, bisa dikatakan saya ini harus mulai dari titik nol. Benar-benar nol.

Belajar untuk hidup tanpa sampah bagi saya bukan sekadar hal teknis yang mencakup aktivitas membaca teori, membuat list tentang langkah yang bisa dilakukan, lalu mencobanya satu per satu.

Lebih dari itu, belajar hidup nol sampah bagi saya berarti berperang melawan diri sendiri. Sebab, setelah saya cermati, gaya hidup ‘penuh sampah’ yang saya jalani selama ini, 99%-nya disponsori oleh berbagai sisi negatif yang ada dalam diri saya sendiri, mulai dari pola pikir yang keliru tentang kepemilikan barang, kebiasaan ingin serba praktis, ke’malas-gerak’an, hingga ketidakpedulian.

Beruntungnya, beralih ke gaya hidup nol sampah bisa dimulai secara perlahan, dari hal yang kecil dan sederhana.

Dalam berbagai literatur, ada setidaknya 5 langkah yang bisa dilakukan untuk menerapkan gaya hidup nol sampah, sebagaimana dideskripsikan di dalam gambar ini:5R

Sumber: https://www.pinterest.nz/pin/87116574026585826/

Dalam pekan ini, saya pun mencoba mempraktikkan dua langkah pertama, yakni Refuse dan Reduce. Konon, dua langkah pertama ini adalah cara termudah sekaligus terampuh untuk mencegah munculnya sampah.

Nah, apa yang saya Refuse pekan ini?

Saya memulainya dari menolak kantong belanja plastik atau yang populer juga dengan istilah kantong kresek. Sampah jenis ini termasuk yang mendominasi di rumah saya, sebab sekali belanja ke pasar, saya bisa membawa pulang setidaknya empat atau lima buah kantong kresek. Umumnya memang tidak langsung saya buang, melainkan saya simpan untuk dipakai kembali. Sayangnya, saya memakainya kembali untuk membungkus sampah-sampah tertentu yang tidak bisa digabung dengan sampah lain begitu saja, yang berarti kantong kresek itu tetap saja jadi sampah yang terbuang. Dan bicara tentang sampah plastik yang dibuang, tentunya kita masih ingat dong ya pada video-video menyedihkan yang saya share di tulisan sebelumnya? 🙂

Karena itu, saya ingin belajar untuk menolak kantong kresek ini sebagai upaya mengurangi kontribusi saya dalam pencemaran lingkungan.

Sebenarnya, kalau soal niat, sudah lama saya berniat untuk menolak kantong kresek bekas belanja dan membawa kantong atau tas belanja sendiri. Hanya saja, saya selalu terkendala oleh satu faktor yang cukup mematikan, yakni L.U.P.A. Ya, saya selalu lupa membawa tas belanja sendiri dan merasa cukup pede melenggang ke pasar hanya berbekal dompet. Alhasil, sesampainya di pasar, saya yang tidak mungkin menggenggam seluruh belanjaan di telapak tangan saya, terpaksa menerima belanjaan lengkap dengan kantong kresek pembungkusnya. Dan ujungnya jelas, bertambahlah koleksi kantong kresek saya di rumah, yang berarti akan bertambah pula jumlah sampah plastik di muka bumi ini.

Tapi pekan ini berbeda. Ada tekad yang membara di dalam dada saya. Wkwkwk.

Sehari sebelum ke pasar, saya sudah menyiapkan sebuah goodybag besar, dua kantong kresek bekas, dan satu mangkuk kecil bertutup. Mangkuk kecil saya maksudkan untuk meletakkan daging sapi cincang yang ingin saya beli, kantong kresek bekas akan saya gunakan untuk membungkus sayur mayur, dan goodybag akan saya gunakan untuk mengangkut seluruh belanjaan. Loh, kok, masih pakai kantong kresek juga? Iya sih, tapi setidaknya saya tidak mendorong pak penjual untuk mengeluarkan kantong kresek baru. Tujuan utama pemakaian kantong kresek ini sebenarnya agar goodybag tidak cepat kotor dan sayur mayurnya tidak terlalu berantakan.

Dan alhamdulillah langkah pertama ini berhasil. Kira-kira beginilah penampakannya:

Kantong belanja

Belanjaan zero waste

Apakah ada kendala? Tentuuu~

Kendala pertama adalah rempong! Haha 😀

Biasanya saya bisa pergi dengan tangan leluasa, kini harus bawa dompet di kiri, goodybag di kanan, dan mengendong bayi di depan. Wkwkwk.

Kendala kedua, yaa, harus menghadapi tatapan bingung dari pak penjual dan pembeli lain yang ada di samping.

Tapi, kendala-kendala itu tidak bermakna besar bila dibandingkan bahagianya hati saya karena berhasil mengurangi sampah. Sungguh, bahagiaaa sekali. Dan sejujurnya, ‘nagih’ sih melakukan ini. Semoga saja benar istiqomah yaa… XD

Oke, itu yang pertama.

Jenis sampah kedua yang coba saya Refuse pekan ini adalah makanan dan minuman berkemasan plastik.

Jika sedang di rumah, mungkin tidak terlalu sulit ya melakukan itu.

Nah, bagaimana ketika sedang pergi ke luar rumah? Ini yang saya coba selama dua hari kemarin. Dan alhamdulillah berhasil!

Yang saya persiapkan di rumah tidak banyak, hanya botol minum sendiri. Tujuan bepergian kami saat itu memang hanya ke rumah saudara sehingga saya yakin disana saya bisa makan pakai piring dan minum dengan gelas. Meski begitu, saya sadar selama di mobil, saya sering merasa haus, dan minuman yang tersedia di mobil hanyalah air minum dalam kemasan (AMDK). Untuk mencegah munculnya sampah dari penggunaan AMDK itu, saya pun membawa botol minum sendiri. Alhamdulillah langkah ini tidak menemui kendala berarti.

IMG_20180818_213646 (1)

Sore harinya, kami pun berkunjung ke rumah saudara lainnya. Di sana, tuan rumah menyediakan teh hangat dalam gelas dan senampan AMDK. Awalnya, saya memilih teh hangat itu untuk menghindari AMDK. Dan merasa cukup puas dengan keputusan itu.

Tapi, ternyata oh ternyata, setelah teh hangat di gelas saya habis, sang tuan rumah menyediakan makan besar! Endingnya pun tertebak, setelah makan, saya kembali haus. Wkwkwk.

Saya pun mencari cara agar sebisa mungkin tidak mengambil AMDK untuk menghilangkan haus saya. Dan, aha! Di pojok ruangan terlihat teko air minum berisi air putih. Awalnya saya agak ragu untuk meminta minum dari teko itu, karena teko itu tidak secara khusus disuguhkan oleh tuan rumah untuk kami. Ah, tapi saya pikir, jika tidak dicoba, saya juga tidak tahu hasilnya. Akhirnya, saya beranikan diri meminta izin untuk minum dari teko itu menggunakan gelas teh saya sebelumnya. Alhamdulillah diizinkan. Lega sekali rasanya. Dan lagi-lagi, bahagiaaa sekali berhasil melawan keinginan ‘serba praktis’.

Keesokan harinya, saat menghadiri acara pengajian, saya kembali membekali diri dengan botol minum sendiri. Sayangnya, untuk yang kali ini, saya hanya berhasil menolak AMDK-nya saja, sedangkan kue-kue yang disuguhkan dalam kotak tidak bisa saya tolak atau saya minta dengan kotak makan sendiri. Agak sedih karena merasa tidak optimal. Tapi, yah, namanya juga berproses yaa..

Semoga di lain waktu saya bisa lebih militan lagi dalam upaya menolak makanan dan minuman dalam kemasan. XD

Setelah Refuse, sekarang kita bicara Reduce.

Apa yang saya Reduce pekan ini?

Pertama, popok sekali pakai. Sampah jenis ini juga termasuk dominan di rumah saya. Karenanya, saya mencoba menguranginya dengan memakai cloth diaper (clodi) ketika sedang di rumah.

Sebenarnya, saya sudah mulai membeli clodi sejak anak pertama. Hanya saja, saya hanya bertahan menggunakannya selama dua minggu. Selain karena tidak terkejar mencucinya, juga karena saya merasa clodi tersebut sering bocor (yang belakangan saya tahu, itu terjadi karena saya tidak melakukan prewash sesuai instruksi, wkwkwk).

Pada anak kedua ini, saya mencoba menyemangati diri lagi memakaikan clodi, yang meski menambah beban cucian saya, tapi sangat signifikan mengurangi limbah popok sekali pakai. Jika tidak sedang bepergian, jumlah popok sekali pakai yang biasanya habis 3 atau 4 buah dalam satu hari, bisa berkurang menjadi 1 buah saja. Alhamdulillah. 😀

Clodi

Kedua, tissue.

Hmm, saya termasuk yang mudah sekali menggunakan tissue untuk segala macam keperluan, mulai dari membersihkan hidung anak yang sedang pilek hingga mengelap air yang tumpah. Alasannya apalagi kalau bukan karena tissue bisa langsung dibuang, tidak perlu dicuci atau dibilas seperti sapu tangan, lap tangan, atau lap pel. Ujung-ujungnya memang karena malas gerak lagi kan? :’D

Saya tidak sadar, bahwa setiap kali saya menghabiskan 20 lembar tissue saja, saya sudah membunuh satu pohon berusia 6 tahun (on instagram @koko_ardianto). Entah berapa pohon yang sudah saya babat selama ini? T_T

Akhirnya, pekan ini, saya coba kumpulkan berbagai jenis lap kain yang bisa menggantikan peran tissue dan mencoba konsisten menggunakannya.

Kadang, jika butuh cepat, memang gatal rasanya ingin mengambil tissue, apalagi stok tissue di rumah masih banyak. Tapi saya mencoba mengatasinya dengan membayangkan pohon-pohon yang saya babat itu setiap kali melihat kotak tissue. Sejauh ini masih berhasil dan saya akhirnya mundur teratur untuk kemudian mengambil lap kain. 😀

Lap tangan

Hal yang juga membuat saya semangat adalah ketika saya menemukan handuk lap tangan baru yang belum pernah dibuka selama ini (entah hadiah darimana saya pun lupa :”D).

Handuk lucu ini, selain bisa menjadi pengingat dan penyemangat saya, juga sangat bisa saya manfaatkan untuk mengajak anak saya mengurangi penggunaan tissue. 😀

Lap tangan 2

Nah, itulah sedikit langkah yang sudah saya lakukan. Doakan semoga saya istiqomah menjalankannya yaa. 😀

Episode Cakrawala

Hijrah Nol Sampah #1

“Orang bijak mengurus sampahnya sendiri.”

(Anonim)

Kalimat manis nan merdu didengar itu sudah sampai di telinga saya sejak saya duduk di bangku SMA. Sayangnya, merdu didengar tidak lantas menjadi mudah dilakukan. Ya, mengurus sampah sendiri adalah hal yang berat jika hati tak punya tekad kuat. Saya pun termasuk orang yang belum berhasil melaksanakannya. Berbelas tahun sudah berlalu sejak kalimat itu saya dengar, dan saya masih belum juga terampil ‘mengurus’ sampah saya sendiri.

Jika ditanya kemana sampah-sampah saya bermuara selama ini, saya pikir setidaknya ada tiga jalur:

Pertama, didaur ulang (recycle) atau digunakan kembali (reuse).

Sampah berupa kardus biasanya akan saya modifikasi untuk dijadikan kotak penyimpanan barang atau mainan anak. Hanya saja, modifikasi itu hanya sesekali saya lakukan, dan jumlahnya pun tidak sampai 5% dari keseluruhan sampah yang saya dan keluarga saya hasilkan. Jadi ya, jika bicara penyelamatan bumi, daur ulang yang saya lakukan itu tidak begitu menolong. Tetap saja sampah saya masih terbilang banyak.

Selain daur ulang, ada juga sampah yang saya gunakan kembali, biasanya sampah berupa kantong kresek bekas belanja di pasar. Seringnya, kantong kresek itu saya gunakan lagi untuk membungkus sampah popok sekali pakai sebelum akhirnya diletakkan di tempat sampah. Eh, lho, ujung-ujungnya tetap saja kresek itu jadi sampah yang dibuang ya? Wkwkwk.

Kedua, dibakar.

Sebelum tersosialisasinya aturan tentang larangan membakar sampah di pekarangan rumah, sampah-sampah yang dihasilkan di rumah saya hampir seluruhnya dibakar, termasuk sampah yang lamaaaaa sekali terbakarnya, yaitu popok sekali pakai.

Saat itu, belum ada kesadaran bahwa pembakaran itu menyelesaikan masalah sampah (tepatnya melenyapkan tumpukan sampah) di satu sisi, namun menimbulkan masalah baru di sisi lain. Beragam jenis zat berbahaya, mulai dari yang menyerang pernafasan, mengganggu pertumbuhan anak, hingga yang memicu kanker, bisa muncul dari sini.

Beruntung, sejak beberapa tetangga melahirkan bayi di waktu yang berdekatan, pengurus rukun warga kembali aktif mengingatkan para warga agar tidak lagi membakar sampah di pekarangan rumah. Kami pun berhenti membakar sampah demi bayi-bayi mungil itu. Sebagai gantinya, kami mengambil jalur berikutnya…

Ketiga, dipasrahkan kepada petugas pengangkut sampah.

Pengurus rukun warga merekomendasikan agar kami menggunakan jasa petugas pengangkut sampah. Mereka akan datang dan mengambil sampah di rumah kami dua atau tiga kali dalam seminggu dan kami membayar jasa mereka setiap awal bulan. Kemana sampah kami mereka angkut? Seharusnya sih ke tempat penampungan sampah ya. Setidaknya, itulah yang sekilas saya dengar. Tapi, tentang bagaimana sampah itu dikelola, entahlah, saya tidak tahu, dan tidak begitu peduli. Bagi saya kala itu, membayar mereka berarti melepaskan beban pikiran tentang kemana sampah saya pergi.

Ya, itulah saya dulu, begitu mudahnya merasa ‘aman’ ketika sampah saya berhasil hilang dari pandangan, begitu mudahnya merasa ‘selesai’ ketika melihat petugas pengangkut sampah berlalu dari hadapan saya dengan tumpukan sampah yang menjuntai.

Sampai akhirnya, saya menemukan video ini beberapa pekan lalu:

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=dbavqPrS8Ns

Pekik kesakitan penyu itu terus terngiang di kepala saya hingga berhari-hari setelahnya, seolah ingin menyentak kesadaran saya bahwa kelalaian saya dari ‘mengurus’ sampah saya sendiri bukanlah sesuatu yang baik-baik saja, bahwa ketidakpedulian saya tentang kemana sampah saya bermuara ternyata sangat berpotensi memakan korban.

Terlebih lagi, video tersebut ternyata hanyalah pintu gerbang yang mengantarkan saya pada video-video lain yang lebih mencengangkan, seperti ini:

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=PFzYnLI9xxw

Ini:

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=Sp572udnPVg

Dan ini:

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=jOe9nV21Tlw&t=65s

Jika ditelusuri lebih jauh, masih banyak video lain yang akan membuat kita merasa perlu mengambil jeda dan mengevaluasi lagi dimana kira-kira sampah kita akan berhenti, dan apa yang bisa kita lakukan untuk ‘mengurus’nya.

Saya tahu, memutuskan untuk hijrah nol sampah tidaklah mudah, tapi saya rasa, kita bisa mulai dari yang termudah.

Membawa kantong belanja sendiri, membawa botol minum dan tempat makan sendiri, menggunakan popok kain, memanfaatkan kertas bekas, merawat pakaian agar bisa dipakai dalam jangka waktu yang lama, dan menggunakan sapu tangan untuk menghemat penggunaan tissue baru sebagian kecil dari sekiiiiiaaan banyak pilihan langkah yang bisa kita ambil untuk memulai hijrah nol sampah.

Sekarang, tinggal menjawab pertanyaan terpentingnya: maukah kita bergerak? 🙂

 

 

 

 

 

 

 

 

Episode Cakrawala

Komunikasi Suami Istri

Oleh: Fina Febriani, M. Psi, Psikolog
*disampaikan dalam diskusi WhatsApp Group IIP Jakarta 02, Kamis, 1 Maret 2018

Secara alamiah, suami dan istri memiliki karakteristik yang saling melengkapi dan menyempurnakan. Hanya saja, ketidakpahaman akan karakteristik pasangan masing-masing membuat komunikasi mereka seringkali tidak lancar. Karena itu, untuk mencapai keharmonisan dalam komunikasi, hal pertama yang perlu dilakukan adalah saling memahami pasangan.

A. MEMAHAMI SOSOK SUAMI

1. Nilai yang dianggap penting: kekuasaan, keterampilan, efisiensi, dan prestasi.

  • Harga diri suami dibentuk dari pencapaian hasil yang mereka upayakan sendiri. Suami tidak akan meminta bantuan dan nasihat dari orang lain kecuali terpaksa.
  • Tips untuk istri:
    • Saat suami mengupayakan sesuatu, beri kepercayaan dan tahan diri dari memberikan komentar atau masukan sebelum diminta, bahkan meski istri tahu bahwa suami telah melakukan kesalahan.

2. Cara menghadapi stres: menyendiri untuk mencari solusi.

  • Suami butuh fokus untuk mencari solusi atas masalahnya sehingga memilih menyendiri dan banyak diam. Setelah solusinya ditemukan, sikapnya akan kembali seperti semula.
  • Tips untuk istri:
    • Saat suami banyak diam, jangan langsung berpikir bahwa suami marah pada istri dan lantas merasa tidak dicintai.
    • Tetap layani suami dengan baik, namun jangan banyak bertanya atau berusaha mendesak suami untuk bercerita.
    • Beri suami ruang dan waktu untuk menyelesaikan masalahnya. Sebagai hiburan ketika suami tidak bisa memberi perhatian, istri bisa fokus mengerjakan hal lain yang disukai.

3. Sumber motivasi: perasaan dibutuhkan oleh pasangan.

  • Suami termotivasi ketika merasa dibutuhkan dan dipercaya. Bila diberi peluang untuk memberi, ia akan mengerahkan kemampuannya untuk memberikan yang terbaik pada pasangannya. Bila tidak diberi peluang, ia akan berhenti memberi karena merasa tidak dibutuhkan.
  • Tips untuk istri:
    • Meski istri terbiasa mandiri dan mampu mengerjakan semua hal sendiri, tetap berikan ruang untuk menerima bantuan dan perhatian dari suami tanpa kehilangan batas kemandirian.
    • Saat meminta bantuan, hindari kalimat perintah. Sebaiknya gunakan kalimat tanya “Maukah kamu?” karena suami jauh lebih rela mengatakan ‘Ya’ ketika ia punya kebebasan untuk mengatakan ‘Tidak’.

4. Bahasa yang digunakan: kalimat eksplisit dan to the point, atau diam.

  • Suami cenderung bicara dengan kalimat eksplisit dan to the point. Suami juga baru akan bicara setelah berpikir dan yakin dengan apa yang akan dikatakannya. Bila tidak yakin, suami cenderung memilih diam.
  • Tips untuk istri:
    • Bila suami diam ketika istri bertanya, jangan langsung menganggap bahwa suami tidak mendengarkan atau mengabaikan pertanyaan, bisa jadi ia sedang memikirkan jawabannya.
    • Usahakan untuk menggunakan kalimat eksplisit ketika meminta bantuan atau menyampaikan perasaan kepada suami agar lebih mudah ditangkap oleh suami.

5. Siklus intimasi: seperti karet gelang.

  • Suami seperti karet gelang, kadang mengendur (ingin dekat dan akrab dengan istri), kadang meregang (ingin melakukan aktivitas sendirian). Ini wajar dan merupakan cara suami untuk menyeimbangkan kebutuhannya akan kehangatan dan kebutuhannya akan kebebasan.
  • Tips untuk istri:
    • Saat suami sedang ingin menarik diri, jangan mengejarnya atau menghukumnya. Beri ia kesempatan untuk menikmati kesendiriannya. Yakinlah bahwa ia akan kembali untuk membangun kehangatan dengan istri.
    • Bila istri ingin bicara, istri bisa menanyakan kapan suami bisa meluangkan waktu untuk bicara tanpa bersikap mendesak.
    • Bila istri sedang butuh hiburan atau perhatian, hubungi sahabat wanita atau pergi mengerjakan hal yang disukai.

6. Penilaian atas ekspresi cinta pasangan: dipengaruhi besar kecilnya usaha.

  • Bagi suami, pemberian cinta yang membutuhkan usaha besar (mis. membelikan perhiasan) layak mendapat nilai lebih besar dari istri dibandingkan pemberian cinta yang membutuhkan usaha kecil (mis. memeluk istri). Hal ini membuat suami fokus mengejar hal-hal besar dan mengabaikan perhatian-perhatian kecil yang sebenarnya sama pentingnya bagi istri.
  • Tips untuk istri:
    • Jangan menghukum suami ketika luput memberikan perhatian-perhatian dalam bentuk sederhana. Sebagai gantinya, sampaikan keinginan istri secara baik-baik kepada suami tanpa menafikan pemberian besar yang sudah diupayakan suami.
    • Saat suami memberikan perhatian kecil, berikan apresiasi secara jelas sehingga suami bisa menangkap bahwa mengerjakan hal sederhana untuk membantu istri merupakan hal yang sangat berarti bagi istri.

B. MEMAHAMI SOSOK ISTRI

1. Nilai yang dianggap penting: cinta, komunikasi, dan hubungan dengan orang lain.

  • Harga diri istri dibentuk dari kualitas hubungan dengan orang sekitarnya. Istri butuh bicara dengan pasangan untuk menjadi akrab.
  • Tips untuk suami:
    • Saat istri bercerita, dengarkan dengan saksama hingga tuntas tanpa memotong atau menawarkan solusi.

2. Cara menghadapi stres: membicarakan masalahnya.

  • Saat stres, istri mengurangi ketegangan dengan membicarakan semua masalahnya secara detail tanpa berorientasi pada solusi. Ia hanya ingin dimengerti dan didengarkan agar merasa ringan.
  • Tips untuk suami:
    • Saat istri menjabarkan keluhannya, jangan merasa bahwa ia sedang menyalahkan suami. Suami tidak perlu membela diri dan tidak perlu pula menawarkan solusi karena bukan itu yang dibutuhkan istri. Cukup dengarkan dan beri dukungan emosional.

3. Sumber motivasi: perasaan dicintai oleh suami.

  • Istri termotivasi ketika merasa dicintai dan diberi dukungan.
  • Tips untuk suami:
    • Tunjukkan cinta dengan memberikan perhatian-perhatian sederhana dan mendengarkan semua yang dibicarakan dengan penuh empati.

4. Bahasa yang digunakan: implisit, superlatif, dan generalisasi.

  • Saat bicara, istri cenderung menggunakan kiasan, kalimat yang dilebih-lebihkan, dan menggeneralisasi situasi atau masalah.
  • Tips untuk suami:
    • Jangan menafsirkan kalimat istri secara harfiah karena berpotensi membuat suami menanggapi secara keliru.
    • Berusahalah mendengarkan istri dengan tulus dan tunjukkan bahwa suami memahami perasaan istri dan bersedia menampung keluh kesahnya.

5. Siklus intimasi: seperti gelombang.

  • Istri seperti gelombang, kadang naik kadang turun. Saat naik, istri memiliki stok cinta yang melimpah dan siap memberi banyak kepada orang lain. Saat turun, istri merasa hatinya kosong dan perlu diisi oleh cinta.
  • Tips untuk suami:
    • Jangan kaget ketika secara mendadak istri menjadi murung. Jangan pula merasa bahwa suami telah gagal membahagiakan istrinya. Beri ruang bagi istri untuk melepaskan perasaan-perasaan negatifnya dan terus beri dukungan.

6. Penilaian atas ekspresi cinta pasangan: semua bernilai sama.

  • Bagi istri, semua bentuk pemberian cinta, baik yang membutuhkan usaha besar maupun kecil, bernilai sama.
  • Tips untuk suami:
    • Seimbangkan pemberian besar dengan perhatian-perhatian kecil.

C. Catatan Penting

  • Komunikasi harus didasari oleh respek satu sama lain.
  • Dalam berkomunikasi, tetap selalu perhatikan waktu, cara, dan pilihan kata yang tepat.
  • Saat sudah memiliki anak, prioritaskan pasangan daripada anak. Bila kita mengorbankan perasaan pasangan demi anak, maka rumah tangga akan lumpuh. Sebaliknya, bila kita menjaga kualitas hubungan dengan pasangan, maka kualitas hubungan dengan anak akan ikut terjaga.

 

Referensi:

Gray, J. (1997). Men are from Mars, Women are from Venus. Gramedia Pustaka: Jakarta

Lee, G. (n.d.). 5 reasons to keep your spouse #1 and the kids #2. Diakses dari https://familyshare.com/168/5-reasons-to-keep-your-spouse-1-and-the-kids-2 pada Rabu, 28 Februari 2018, pukul 15.00

 

Episode Cakrawala

Pendidikan Seksual Untuk Anak (3)

Di bagian ini, akan dibahas pendidikan seksual yang bisa diberikan pada anak usia 7-10 tahun, 11-14 tahun, dan 15-18 tahun.

Pendidikan Seksual Untuk Anak Usia 7-10 Tahun

Beberapa isu penting yang muncul di usia ini dan yang perlu orang tua lakukan, diantaranya:

Anak mulai memasuki fase tamyiz (bisa membedakan) dan bisa memahami hubungan sebab akibat.

  • Orang tua sudah bisa menjelaskan proses reproduksi manusia secara lebih lengkap, misalnya mulai dari pertemuan sperma dan sel telur yang memudian berkembang menjadi janin dan tumbuh dalam rahim ibu selama 9 bulan sampai lahir. Orang tua bisa mengaitkan dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadist sebagai sarana untuk menanamkan akidah pada anak.
  • Sebagian praktisi pendidikan muslim kontra dengan penjelasan detail tentang proses reproduksi manusia karena dianggap bisa membuat anak membayangkan hal-hal yang tidak perlu, bahkan ingin mencoba mempraktekkannya. Sebagai gantinya, mereka menyarankan untuk memberi penjelasan dengan menggunakan analogi dari proses reproduksi hewan atau tumbuhan. Akan tetapi, bila anak sudah mendapat informasi tentang reproduksi manusia di sekolah maupun media lain, sebaiknya orang tua menjelaskan sesuai dengan pengetahuan yang sudah diperoleh anak. Hal ini untuk mencegah kebingungan pada anak sekaligus menetralisir pemahaman yang mungkin keliru pada anak. Agar tidak menimbulkan rasa penasaran atau keinginan mencoba pada anak, orang tua perlu menjelaskan topik ini dengan tenang dan tunjukkan bahwa itu sesuatu yang alamiah dan netral.

Anak mulai perlu memunculkan potensi kelelakian atau keperempuanannya.

  • Anak laki-laki perlu didekatkan dengan ayahnya. Ayah akan membimbing anak untuk memahami peran sosial dan keayahan, serta menjadi figur pertama yang dikenang anak laki-laki dalam peran kelelakiannya.
  • Anak perempuan perlu didekatkan dengan ibunya. Ibu akan memberi inspirasi pada anak perempuan tentang bagaimana merawat dan melayani, serta menjadi figur pertama yang dikenang anak perempuan dalam peran keperempuanannya.
  • Orang tua perlu mulai memisahkan tempat tidur anak laki-laki dan perempuan.

Anak mulai banyak bertanya seputar hubungan antara lawan jenis.

  • Pembahasan tentang hubungan antara lawan jenis hendaknya dibicarakan antara anak laki-laki dan ayahnya dan antara anak perempuan dan ibunya. Selain agar terjalin kedekatan antara keduanya, juga agar pembicaraan lebih terbuka dan nyaman.
  • Ajarkan anak untuk mulai mempraktekkan adab-adab isti’zan (meminta izin) untuk memasuki kamar orang tua pada 3 waktu (sebelum subuh, saat melepas pakaian luar di tengah hari, dan sesudah isya).
  • Ajarkan adab-adab kesopanan pada anak saat berkunjung, misalnya dengan mengucapkan salam dan tidak masuk rumah sebelum mendapat izin.
  • Ajarkan pula tentang bagaimana membangun hubungan pertemanan yang sehat dengan lawan jenis. Sampaikan pada anak bahwa dalam berteman, setiap orang memiliki batasan yang perlu dihormati. Anak tidak diperkenankan mengganggu atau memperlakukan lawan jenis secara tidak santun. Sebaliknya, anak juga boleh menolak atau memperjuangkan haknya ketika diperlakukan tidak sopan oleh lawan jenisnya.

Anak mulai perlu dipersiapkan untuk memasuki fase baligh

  • Kenalkan pada anak bahwa di usia ini mereka akan segera menyongsong usia baligh, yang ditandai dengan mimpi bahasa pada laki-laki dan menstruasi pada perempuan. Berikan penjelasan detail tentang tanda-tanda mimpi basah dan mentruasi.
  • Sampaikan bahwa setelah usia baligh, mereka sudah harus memikul tanggung jawab atas diri dan perilaku mereka. Ayah perlu menjelaskan konsekuensi memiliki sperma bagi laki-laki dan ibu perlu menjelaskan konsekuensi memiliki rahim bagi perempuan.
  • Sampaikan bahwa setelah mimpi basah atau suci dari haid, anak harus bersuci dengan melakukan mandi wajib. Jika anak tidak melakukan mandi wajib, akan berdampak pada sah tidaknya ibadah tertentu yang dilakukan anak, misalnya shalat. Tata cara mandi wajib dijelaskan oleh ayah pada anak laki-lakinya dan oleh ibu pada anak perempuannya.
  • Ajarkan adab-adab berpakaian yang menutup aurat. Anak perempuan perlu diajarkan untuk berpakaian sopan di hadapan anak laki-laki yang usianya sudah menginjak 10 tahun, termasuk saudara sendiri.

Pendidikan Seksual Untuk Anak Usia 11-14 Tahun

Beberapa isu penting yang muncul di usia ini dan yang perlu orang tua lakukan, diantaranya:

Anak mulai memasuki fase baligh

  • Perubahan fisik dan fisiologis saat memasuki fase baligh dapat membuat anak gelisah, karenanya orang tua perlu mendampingi anak dalam menghadapi perubahan tersebut. Memberikan pelukan dan dukungan moril dapat membantu anak menghadapi perubahan tersebut.
  • Ajarkan anak untuk selalu menjaga kebersihan area tubuh pribadinya dan pastikan anak sudah mampu melakukan mandi wajib setelah mimpi basah atau suci dari haid.
  • Jelaskan konsep mahram dan non-mahram serta konsekuensinya dalam pergaulan.
  • Ajak anak untuk mulai konsisten dengan kewajiban berhijab dan menutup aurat.

Anak mulai menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenis

  • Di fase ini, dekatkan anak laki-laki dengan ibunya dan anak perempuan dengan ayahnya. Tujuannya agar anak memahami bagaimana seharusnya memperlakukan lawan jenis. Anak laki-laki yang tidak dekat dengan ibunya di masa ini rentan tumbuh menjadi laki-laki dan suami yang kasar dan egois. Perempuan yang tidak dekat dengan ayahnya di masa ini rentan menyerahkan kehormatannya pada laki-laki yang tidak bertanggung jawab.
  • Orang tua perlu menjadi tempat curhat terbaik bagi anak, terutama mengenai hubungan dengan lawan jenis. Beri ruang terbuka bagi anak untuk anak menyampaikan perasaan-perasaannya. Sampaikan pada anak bahwa ketertarikan pada lawan jenis adalah hal yang wajar, namun sebagai individu, anak perlu paham bahwa setiap keputusan dan tindakan yang mereka ambil akan memiliki konsekuensi. Orang tua boleh mulai memperkenalkan hukum-hukum perzinaan dalam Islam.
  • Di masa ini, anak mungkin juga sudah terpapar berbagai informasi mengenai isu seksual yang lebih kompleks, misalnya mengenai homoseksual, HIV/AIDS, alat kontrasepsi, dll. Orang tua harus siap menjadi teman diskusi anak untuk topik-topik ini sambil terus menanamkan nilai-nilai akhlak yang Islami.
  • Pisahkan kamar tidur anak laki-laki dan perempuan. Ajarkan juga anak untuk menerapkan adab isti’zan ketika akan memasuki kamar saudaranya yang berbeda jenis kelamin.
  • Ajarkan anak tentang adab-adab dalam berhadapan dengan lawan jenis, seperti:
    • Menundukkan pandangan ketika bertemu
    • Tidak terlalu sering melakukan ikhtilath (campur baur) dengan lawan jenis
    • Tidak berdua-duaan dengan lawan jenis
    • Menjaga diri dan sikap ketika harus berada di tempat yang berdesak-desakan, seperti di kendaraan umum.
    • Tidak berlebihan dalam berhias sehingga rentan menimbulkan fitnah dan mengundang kejahatan
  • Di usia ini, anak juga mulai bisa dilatih berpuasa sunnah untuk mengontrol hawa nafsu

Pendidikan Seksual Untuk Anak Usia 15-18 Tahun

Di tahap ini, anak sudah perlu dipersiapkan untuk menyambut tanggung jawab pernikahan. Yang perlu orang tua lakukan:

  • Latih anak untuk mandiri secara finansial (akan lebih baik jika dimulai sejak tahap usia sebelumnya).
  • Bekali anak dengan berbagai persiapan menuju pernikahan, mulai dari persiapan ilmu, mental, spiritual, fisik, finansial, serta pengetahuan tentang mendidik anak. Etika berhubungan seksual antara suami istri sebaiknya diajarkan saat anak benar-benar akan menikah.
  • Biasakan anak untuk berpuasa jika memang belum akan menikah.

 

Sebelumnya: Pendidikan Seksual Untuk Anak (1) dan Pendidikan Seksual Untuk Anak (2).

 

Referensi:

___. (2017). Membahas Seks dengan Anak. Diakses dari http://www.kancilku.com/Ind//index.php?option=com_content&task=view&id=185 pada 13 November 2017, pukul 5.17

Amran, H. (2016). Tarbiyah Jinsiyah. Diakses dari https://www.facebook.com/pg/madrasatunnisa/photos/?tab=album&album_id=1261621263871020 pada 9 November 2017, pukul 08.00

Gossart, M. (2002). There’s No Place Like Home for Sex Education. Oregon: Planned Parenthood Health Service of Southwestern Oregon

Papalia, D.E., & Feldman, R.D. (2012). Experience Human Development 12th Ed. New York: McGraw-Hill

Santosa, Harry. (2017). Fitrah Based Education. Bekasi: Yayasan Cahaya Mutiara Timur

Rabbi, A.H. (2011). Membumikan Harapan – Keluarga Islam Idaman. Jakarta: Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia

Risman, E., Madani, H.A., Maisura, Y. (2016). Ensexclopedia: Tanya Jawab Masalah Pubertas dan Seksualitas Remaja. Jakarta: Yayasan Kita dan Buah Hati

Ulwan, A.N. (1998). Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Asysyifa: Bandung

Zolten, K., & Long, N. (2006). Talking to Children About Sex. University of Arkansas for Medical Sciences

Episode Cakrawala

Pendidikan Seksual Untuk Anak (2)

Di bagian kedua ini, akan dibahas pendidikan seksual yang bisa diberikan pada anak usia 0-2 tahun dan 3-6 tahun.

Pendidikan Seksual Untuk Anak Usia 0-2 tahun

Di tahap awal kehidupan ini, anak banyak belajar melalui organ sensoriknya. Orang tua bisa mulai memberikan pendidikan seksual dengan melakukan beberapa hal berikut:

  • Kenalkan berbagai bentuk ekspresi kasih sayang melalui senyuman, kalimat positif, sentuhan (pelukan dan ciuman), serta aktivitas menyusui.
  • Berusaha untuk tidak mengumbar aurat anak di sembarang tempat. Upayakan membersihkan tubuh bayi di tempat tertutup atau dihalangi oleh selembar kain.
  • Berusaha menjaga aurat orang tua dari pandangan anak. Pada masa menyusui, anak hanya berhak melihat aurat ibu bagian atas (payudara).
  • Tidak melakukan hubungan seksual di hadapan anak. Di mata anak, hubungan seksual antara suami istri bisa dipandang sebagai upaya ayah untuk menyakiti ibunya (Gossart, 2002). Hal ini rentan memunculkan pandangan negatif anak terhadap ayah yang nantinya dapat berdampak buruk pada perkembangannya.

Pendidikan Seksual Untuk Anak Usia 3-6 Tahun

Beberapa isu penting yang muncul di usia ini dan yang perlu orang tua lakukan, diantaranya:

Anak mulai memiliki self-perception dan suka mengamati kondisi fisik dirinya.

  • Kenalkan nama-nama bagian tubuh pribadi dengan menggunakan istilah ilmiah (misalnya penis, vagina, payudara) dan syar’i (misalnya aurat). Menggunakan istilah gaul atau tidak baku dapat membuat anak bingung. Selain itu, bila anak sudah terbiasa mendengar istilah penis dan vagina sejak kecil, istilah ini akan dianggap netral dan wajar, serta tidak akan menjadi bahan tertawaan ketika mereka mencapai usia lebih besar.
  • Mulai ajarkan pula cara membersihkan dan merawat tubuh mereka, termasuk bagian pribadi.
  • Jelaskan bahwa area tubuh pribadi tidak boleh ditampakkan pada orang lain kecuali dalam kondisi khusus, misalnya saat orang tua memandikan anak atau saat dokter memeriksa anak ketika sakit.

Ada kecenderungan pada anak, terutama anak laki-laki, untuk memainkan alat genitalnya. Anak melakukan hal ini karena beberapa alasan, misalnya karena ingin mengeksplorasi tubuhnya, merasa bosan, sulit tidur, cemas, marah, atau karena merasa menemukan kesenangan dari aktivitas itu.

  • Bila orang tua melihat anak melakukan hal itu, jangan marahi anak karena akan membuat anak merasa bersalah dan berpikir bahwa alat genital merupakan sesuatu yang kotor. Sebaiknya, secara perlahan sampaikan pada anak bahwa perilaku itu kurang baik jika terlalu sering dilakukan, terlebih jika dilakukan di hadapan orang lain. Sampaikan bahwa anak boleh menyentuh bagian pribadinya ketika sedang membersihkan tubuhnya di kamar mandi.
  • Penuhi kebutuhan anak akan kenyamanan, keamanan, kasih sayang, dan ruang untuk bermain. Ajak anak untuk banyak melakukan aktivitas motorik dan mengembangkan minatnya.
  • Jika orang tua melihat aktivitas ini sudah berlebihan dilakukan oleh anak, orang tua sebaiknya berkonsultasi dengan pihak profesional, seperti psikolog.

Anak mulai menemukan adanya perbedaan bentuk fisik antara laki-laki dan perempuan dan mempertanyakannya.

  • Jelaskan bahwa secara alamiah, laki-laki dan perempuan memang memiliki bentuk fisik yang berbeda dan masing-masing memiliki fungsi yang berbeda.
  • Sampaikan pula bahwa dalam perbedaan ini tidak ada yang lebih baik dari yang lain. Masing-masing jenis kelamin memiliki keistimewaan. Hal ini, selain dapat membentuk citra diri yang positif pada anak karena merasa dihargai dan dicintai, juga akan membuat anak menghargai lawan jenisnya.

Ada kecenderungan pada anak untuk saling memperlihatkan alat genitalnya kepada teman-temannya. Hal ini terjadi karena rasa ingin tahu mereka mengenai kondisi tubuh orang lain.

  • Jangan marahi anak saat orang tua melihat anak melakukan hal ini. Orang tua bisa meluruskan perilaku anak dengan berkata, “Ayah mengerti kamu ingin tahu seperti apa bentuk tubuh orang lain. Itu wajar. Tapi, untuk tahu hal itu, ada cara lain yang lebih baik dari yang kamu lakukan tadi. Ayah punya buku yang bisa membantu kita mengenal bagian-bagian tubuh. Bagaimana kalau kita baca buku itu bersama?”
  • Mulai ajarkan anak untuk tidak menyingkap auratnya di hadapan orang lain, termasuk saudaranya sendiri.
  • Jika anak sudah bisa ke toilet sendiri, ajarkan anak untuk tidak memasuki toilet bersama orang lain.

Anak mulai menirukan ucapan tidak pantas yang dicontoh dari temannya, misalnya menyebut kata ‘tahi’ atau mulai menggoda temannya sebagai ‘pacar’ seseorang.

  • Menurut Gossart (2002), ada tiga kemungkinan alasan anak mengucapkan kata-kata yang tidak pantas, yakni:
    1. Sedang mencari perhatian orang tua
      Jika ini yang terjadi, orang tua bisa memilih untuk mengabaikan anak dan baru memberi perhatian bila anak meminta tanpa menggunakan kata-kata itu lagi.
    2. Sedang ingin mendapat informasi
      Anak seringkali menirukan suatu kata tanpa tahu maknanya dan mereka sengaja menyebut kata itu di hadapan orang tua untuk mengonfirmasi maknanya. Jika ini yang terjadi, orang tua bisa bertanya pada anak apa arti kata itu. Jika anak salah mengartikan, berikan definisi yang tepat, lalu tanyakan kembali apakah kata itu yang memang anak maksudkan untuk diucapkan. Umumnya, anak yang menyebut istilah ‘pacar’ masuk dalam kategori ini. Setelah mengonfirmasi pamahaman anak, orang tua dapat menjelaskan pada anak bahwa pacaran bukanlah sesuatu yang baik untuk dilakukan, terlebih di usia mereka saat ini.
    3. Sedang marah
      Jika ini yang terjadi, orang tua bisa mengatakan, “Ayah tahu kamu sedang marah. Kamu boleh marah, tapi ayah kurang suka dengan kata-kata yang kamu ucapkan. Bisakah kamu memilih kata lain untuk menunjukkan kemarahan kamu?”

Anak mulai memiliki rasa ingin tahu darimana dia atau seorang bayi berasal.

  • Pada fase ini, anak belum terlalu membutuhkan penjelasan detail mengenai proses kelahiran bayi. Orang tua bisa memberi penjelasan yang sederhana dan jujur, misalnya, “Kamu dulunya berbentuk telur kecil yang tinggal di rahim Bunda.” atau “Kamu keluar dari bagian tubuh Bunda yang bernama vagina. Tapi, Bunda tidak bisa perlihatkan bagian itu karena bagian itu adalah bagian tubuh pribadi Bunda.”

Anak sudah harus bisa memastikan identitas seksualnya.

  • Di usia ini, anak perlu didekatkan dengan ayah dan ibunya agar bisa membedakan sosok laki-laki dan perempuan, sehingga secara alamiah mereka paham dan bisa menempatkan diri sesuai identitas seksualnya, baik dari cara bicara, berpakaian, berpikir, maupun bertindak, serta bisa mengatakan dengan jelas ‘saya laki-laki’ atau ‘saya perempuan’.

Anak mulai rentan menjadi sasaran pelecehan seksual.

  • Bekali anak pemahaman dan keterampilan untuk melindungi diri. Langkah berikut bisa orang tua lakukan:
    1. Jelaskan perbedaan antara sentuhan baik dan sentuhan buruk.
      • Sentuhan baik, diantaranya:
        • Saat ayah ibu memandikan atau membersihkan tubuh anak setelah buang air
        • Saat dokter memeriksa anak ketika sakit
        • Saat ayah atau ibu memeluk anak, mengusap kepala, atau menepuk pundak
        • Saat ayah, ibu, teman, atau guru mengajak bersalaman
      • Sentuhan buruk diantaranya:
        • Saat seseorang menyentuh bagian tubuh pribadi anak (dada, paha, alat kelamin, pantat, dan bibir)
        • Saat seseorang memaksa memeluk anak dengan erat atau mencium pipi anak meskipun anak tidak suka
        • Saat seseorang menyuruh anak membuka baju di hadapannya atau memperlihatkan bagian tubuh pribadinya di hadapan anak
        • Saat seseorang memaksa memperlihatkan gambar/video porno (tidak menggunakan busana) pada anak
    2. Tekankan pada anak bahwa tubuh mereka sangat berharga dan karenanya harus dijaga. Sampaikan juga bahwa anak memiliki hak penuh atas tubuhnya sehingga tidak ada seorang pun yang berhak mengganggu tubuh anak.
    3. Ajarkan anak untuk menghindar, berkata ‘tidak boleh’ atau ‘tidak mau’, lari, dan melapor pada orang tua atau orang dewasa terdekat bila ada orang yang mengganggunya.
    4. Ajarkan anak untuk tidak mudah percaya atau mau dibujuk dengan iming-iming dari orang yang berusaha mengganggunya, misalnya diajak naik mobil, diberi hadiah, atau diajak bermain.
    5. Jika perlu, ajak anak melakukan roleplay untuk melatih keterampilan melindungi diri dari pelecehan.

 

Sebelumnya: Pendidikan Seksual Untuk Anak (1)

Selanjutnya: Pendidikan Seksual Untuk Anak (3)

 

Referensi:

___. (2017). Membahas Seks dengan Anak. Diakses dari http://www.kancilku.com/Ind//index.php?option=com_content&task=view&id=185 pada 13 November 2017, pukul 5.17

Amran, H. (2016). Tarbiyah Jinsiyah. Diakses dari https://www.facebook.com/pg/madrasatunnisa/photos/?tab=album&album_id=1261621263871020 pada 9 November 2017, pukul 08.00

Gossart, M. (2002). There’s No Place Like Home for Sex Education. Oregon: Planned Parenthood Health Service of Southwestern Oregon

Papalia, D.E., & Feldman, R.D. (2012). Experience Human Development 12th Ed. New York: McGraw-Hill

Santosa, Harry. (2017). Fitrah Based Education. Bekasi: Yayasan Cahaya Mutiara Timur

Rabbi, A.H. (2011). Membumikan Harapan – Keluarga Islam Idaman. Jakarta: Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia

Risman, E., Madani, H.A., Maisura, Y. (2016). Ensexclopedia: Tanya Jawab Masalah Pubertas dan Seksualitas Remaja. Jakarta: Yayasan Kita dan Buah Hati

Ulwan, A.N. (1998). Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Asysyifa: Bandung

Zolten, K., & Long, N. (2006). Talking to Children About Sex. University of Arkansas for Medical Sciences

Episode Cakrawala

Pendidikan Seksual Untuk Anak (1)

“There’s no place like home for sex education.”
(Marry Gossart)

Pendidikan seksual merupakan topik yang penting dalam mendidik anak karena seksualitas adalah salah satu fitrah yang menyertai kelahiran setiap individu.

Pada anak khususnya, topik seputar isu seksual seringkali memunculkan rasa ingin tahu. Hanya saja, tidak semua orang tua siap menghadapi keingintahuan anak dan mampu mengarahkan mereka sesuai dengan tuntunan agama dan tahapan perkembangan anak. Padahal, lingkungan yang paling tepat untuk memberikan pendidikan seksual pada anak adalah rumah dan peran terpenting dipegang oleh orang tua.

Sebagian orang tua enggan memberikan pendidikan seksual pada anak karena menganggap topik tersebut tabu, belum perlu diketahui oleh anak, atau dikhawatirkan akan membuat anak berpikir untuk melakukan hal yang tidak pantas. Sayangnya, ketika orang tua enggan menjelaskan, anak justru akan mencari dan mendapatkan informasi mengenai hal tersebut dari pihak luar yang kebenaran dan efek sampingnya belum tentu bisa dipertanggungjawabkan.

Dampak dari pendidikan seksual itu sendiri sebenarnya sangat tergantung dari bagaimana orang tua mendefisinikan pendidikan seksual, serta cara dan konten yang disampaikan pada anak sesuai dengan usia dan perkembangannya.

Islam memandang pendidikan seksual sebagai bagian tak terpisahkan dari pendidikan anak secara keseluruhan. Dr. Abdullah Nasih Ulwan (1998) mendefinisikan pendidikan seksual sebagai upaya pengajaran, penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri, dan perkawinan sehingga anak dapat mengetahui masalah-masalah yang diharamkan dan dihalalkan serta mampu menerapkan tingkah laku Islami dan tidak mengikuti syahwat atau cara-cara hedonisme.

Dari definisi tersebut, terlihat bahwa dalam kacamata Islam, pendidikan seksual tidak hanya berisi penyampaian fakta mengenai anatomi tubuh manusia, proses reproduksi, hubungan antara laki-laki dan perempuan, atau penyakit menular seksual, melainkan juga berkaitan dengan pembentukan akhlak yang sesuai dengan ajaran Islam.

Menurut Gossart (2002), secara umum, pendidikan seksual memiliki beberapa tujuan, diantaranya:

  • Menyediakan informasi yang akurat untuk anak
  • Menanamkan nilai-nilai yang dianut keluarga
  • Membangun keterampilan mengambil keputusan yang efektif pada anak
  • Menetralkan pesan negatif yang berasal dari dunia luar guna mencegah terjadinya penyimpangan

Persiapan yang Perlu Dilakukan Orang Tua

Sebelum memberikan pendidikan seksual pada anak, ada beberapa poin penting yang perlu orang tua pahami dan persiapkan, antara lain:

Bekali diri
Penting bagi orang tua untuk membekali diri dengan pengetahuan mengenai topik-topik kunci dalam pendidikan seksual, seperti konsep aurat atau bagian tubuh pribadi yang harus dijaga, menstruasi, mimpi basah, hubungan antara laki-laki dan perempuan, bentuk-bentuk ekspresi kasih sayang, pernikahan, proses reproduksi, kehamilan, kelahiran, dll. Gali topik-topik tersebut dari berbagai sisi, baik dari sisi ilmiah (biologis dan fisiologis), fikih Islam (hukum-hukum thaharah), maupun kaitannya dengan tafsir ayat-ayat Al Quran (konsep mahram, perintah dan larangan dalam pergaulan, dll).

Mulailah sejak dini
Usahakan orang tua menjadi pihak pertama yang berperan sebagai teman diskusi bagi anak mengenai isu-isu seksual sebelum ia mendapat informasi dari pihak lain.

Aplikasikan sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak
Lakukan pengondisian sesuai tingkat kematangan anak dan berikan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang bisa dipahami anak.

Inisiasi percakapan
Jangan tunggu anak bertanya karena belum tentu semua anak berani bertanya pada orang tuanya mengenai isu seksual. Sebaliknya, inisiasilah percakapan mengenai topik tersebut dengan anak. Orang tua bisa memulai dengan membahas aktivitas atau peristiwa terkait yang ditemukan dalam keseharian. Contoh: saat melakukan toilet training, orang tua bisa mengenalkan nama-nama bagian tubuh pribadi pada anak; saat melihat orang hamil, orang tua bisa menjelaskan proses kemunculan bayi dalam tubuh ibu, dll.

Siapkan diri untuk menjadi orang tua yang ‘askable’
Orang tua harus membuka ruang seluas-luasnya untuk berdiskusi sehingga anak tahu siapa yang harus mereka cari jika ada yang ingin mereka tanyakan terkait isu seksual. Jangan sekali-kali mengabaikan pertanyaan anak atau menolak menjawab karena akan membuat anak berhenti bertanya pada orang tua dan berusaha mencari sumber jawaban lain yang bisa jadi justru menyesatkan.

Tunjukkan sikap tenang saat berdiskusi mengenai isu seksual dengan anak
Jika orang tua terlihat gugup, canggung, atau kesal saat menjelaskan, anak akan berpikir bahwa topik ini adalah sesuatu yang tabu, salah, dan buruk. Orang tua perlu ingat bahwa perspektif anak dalam memandang isu seksual tidak sama dengan orang tua. Mereka bertanya semata-mata karena ingin tahu, bukan karena memiliki pikiran yang kotor. Sebisa mungkin tunjukkan kesan bahwa topik ini adalah sesuatu yang alamiah dan netral.

Jawab pertanyaan anak dengan jujur dan jelas
Jawaban yang mengandung kebohongan atau terkesan meremehkan rasa ingin tahu anak akan membuat anak tidak percaya pada orang tua. Jika orang tua jujur pada anak, anak pun akan terdorong untuk berkata jujur pada orang tua tentang apa yang mereka pikirkan. Tunjukkan pula bahwa orang tua mengangap penting pertanyaan anak dan mau berusaha menjawabnya dengan serius. Hal ini akan membuat anak merasa dihargai dan kelak mereka akan menghargai pula nilai-nilai yang ditanamkan oleh orang tua.

Sabar dalam memberikan penjelasan berulang kali
Anak mungkin tidak bisa langsung menangkap penjelasan dalam sekali waktu. Orang tua perlu mengulang-ulang penjelasan di lain kesempatan sehingga pemahaman tertanam dengan baik dalam diri anak. Orang tua bisa memanfaatkan buku atau alat bantu lain yang sesuai dan aman untuk membantu memberikan penjelasan pada anak.

Iringi fakta dengan penanaman nilai
Anak butuh referensi dalam bersikap. Karena itu, saat menjelaskan, jangan hanya memberikan fakta, tapi sertakan juga pendapat orang tua mengenai hal tersebut beserta nilai-nilai yang dianut dalam keluarga, dalam hal ini misalnya nilai-nilai agama dan kehidupan, sehingga anak tahu bagaimana harus bersikap ketika berhadapan dengan isu tertentu.

Enjoy the process!
Pendidikan seksual merupakan proses yang panjang dan melekat dalam kehidupan keluarga. Karena itu, orang tua perlu menganggap tugas ini sebagai aktivitas yang menyenangkan dan bukan beban yang memberatkan. Tidak perlu merasa tertekan dan berpikir bahwa orang tua harus menjadi pihak yang tahu segalanya. Saat ada hal-hal yang belum orang tua ketahui, orang tua bisa meminta waktu pada anak untuk menunda pemberian jawaban atau justru menempatkan diri sebagai partner anak dalam belajar dan mencari informasi bersama.

Tahapan Pendidikan Seksual Sesuai Usia Anak

Secara garis besar, pendidikan seksual bisa dibagi dalam 5 tahapan, yakni usia 0-2 tahun, usia 3-6 tahun, 7-10 tahun, 11-14 tahun, dan 15-18 tahun.

Pembahasan untuk masing-masing usia akan disajikan di bagian selanjutnya.

 

Selanjutnya: Pendidikan Seksual Untuk Anak (2)

 

Referensi:

___. (2017). Membahas Seks dengan Anak. Diakses dari http://www.kancilku.com/Ind//index.php?option=com_content&task=view&id=185 pada 13 November 2017, pukul 5.17

Amran, H. (2016). Tarbiyah Jinsiyah. Diakses dari https://www.facebook.com/pg/madrasatunnisa/photos/?tab=album&album_id=1261621263871020 pada 9 November 2017, pukul 08.00

Gossart, M. (2002). There’s No Place Like Home for Sex Education. Oregon: Planned Parenthood Health Service of Southwestern Oregon

Papalia, D.E., & Feldman, R.D. (2012). Experience Human Development 12th Ed. New York: McGraw-Hill

Santosa, Harry. (2017). Fitrah Based Education. Bekasi: Yayasan Cahaya Mutiara Timur

Rabbi, A.H. (2011). Membumikan Harapan – Keluarga Islam Idaman. Jakarta: Lembaga Kajian Ketahanan Keluarga Indonesia

Risman, E., Madani, H.A., Maisura, Y. (2016). Ensexclopedia: Tanya Jawab Masalah Pubertas dan Seksualitas Remaja. Jakarta: Yayasan Kita dan Buah Hati

Ulwan, A.N. (1998). Pedoman Pendidikan Anak Dalam Islam. Asysyifa: Bandung

Zolten, K., & Long, N. (2006). Talking to Children About Sex. University of Arkansas for Medical Sciences

Episode Cakrawala

Agar Mereka Cinta Membaca

Membaca merupakan salah satu skill penting yang dibutuhkan manusia dalam kehidupan. Kenapa? Karena membaca adalah salah satu pintu untuk mendapatkan pengetahuan yang bisa digunakan manusia dalam menjalani kehidupannya. Ketika seseorang sudah terampil dan terbiasa membaca, ia akan menjadi pembelajar mandiri yang secara aktif berusaha menyelesaikan masalah mereka sendiri.

Sayangnya, minat baca masyarakat Indonesia saat ini terbilang memprihatinkan. Studi “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016 lalu menyatakan bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca.

Kenapa begitu? Usut punya usut, ternyata penyebabnya adalah karena para orang tua terlalu sibuk memastikan anak mereka bisa membaca sejak dini, bukan suka membaca sejak dini. Padahal minat terhadap aktivitas membaca lebih penting untuk ditumbuhkan lebih dulu dibandingkan kemampuan membaca. Saat anak sudah minat membaca, mereka akan berusaha untuk bisa membaca.

Bagaimana menumbuhkan minat baca pada anak? Beberapa tips berikut bisa Anda coba. 🙂

  • Sediakan lingkungan yang kaya akan bacaan yang bervariasi

Berada di lingkungan yang kaya akan bacaan akan melahirkan pengalaman positif di bidang literasi. Anak yang terpapar banyak buku di sekelilingnya akan tertarik untuk membaca, terlebih jika buku yang tersedia memiliki tema yang beragam yang memungkinkan anak mengeksplorasi berbagai hal baru. Meski demikian, jika anak sudah memiliki minat yang jelas terhadap topik tertentu, orang tua bisa memfokuskan tema bacaan pada topik yang disukai anak.

  • Berikan kesempatan memilih bacaan

Berbagai penelitian di bidang motivasi telah menemukan adanya hubungan yang kuat antara kesempatan memilih dan munculnya motivasi instrinsik pada seseorang.  Hal ini juga berlaku dalam hal membaca. Motivator terbesar bagi anak dalam hal membaca adalah pemberian kesempatan bagi mereka untuk memilih apa yang mereka sukai untuk dibaca. Selain membuat mereka merasa dihargai, hal ini juga mendorong mereka untuk menjadi pembaca yang mandiri.

  • Sediakan kesempatan untuk membaca

Lingkungan yang kaya akan bahan bacaan akan sia-sia jika anak disibukkan dengan aktivitas lain dan tidak berikan kesempatan untuk membaca. Orang tua bisa mengagendakan waktu khusus untuk membaca di rumah selama 10-30 menit setiap harinya. Meski begitu, jangan jadikan agenda ini sebagai sebuah disiplin yang membuat anak tertekan. Kondisikan anak secara santai dengan cara mendampingi anak membaca atau memberi contoh dengan membaca buku di sekitar anak pada waktu khusus tersebut.

  • Sertakan interaksi sosial dalam aktivitas membaca

Motivasi membaca akan meningkat ketika anak diberikan kesempatan untuk berinteraksi sosial dengan orang lain mengenai apa yang mereka baca. Pada anak yang belum bisa membaca, interaksi ini bisa muncul ketika orang tua membacakan buku cerita dengan suara keras (read aloud).

Pada anak yang sudah membaca, orang tua bisa mengajak anak berdiskusi mengenai isi buku yang sudah mereka baca dan menanyakan insight yang mereka dapatkan dari buku tersebut. Saat menanyakan insight, hindari nuansa interogasi. Sebaliknya, orang tua justru perlu berperan sebagai orang yang ‘ingin tahu’ dan ‘ingin belajar’ dari anak. Setelah anak bercerita, orang tua juga bisa bergantian membagi pengalaman membaca yang sudah pernah dilakukan, misalnya dengan bercerita mengenai buku yang dianggap menarik yang relevan dengan topik yang baru saja dibahas anak. Aktivitas ini, selain memberi kesempatan pada anak untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan mereka mengenai hal yang sudah mereka baca, juga membantu anak mengetahui hal-hal lain yang belum pernah mereka baca.

  • Mengajarkan Strategi Membaca

Pada anak yang sudah bisa membaca dengan lancar, mengajarkan strategi untuk memahami bacaan secara efektif bisa membantu meningkatkan motivasi membaca anak. Salah satu caranya adalah dengan memberikan tips dan trik bagaimana menemukan ide pokok atau inti dari suatu paragraf dalam bacaan sehingga anak bisa memahami apa yang mereka baca secara efektif. Ketika anak merasa bisa memahami bacaan secara efektif, kepercayaan diri mereka akan meningkat dan mereka akan semakin termotivasi untuk membaca.

  • Berikan apresiasi dan umpan balik positif

Anak akan lebih termotivasi untuk membaca ketika lingkungan menyediakan insentif yang merefleksikan nilai dan pentingnya membaca. Oleh karena itu, orang tua perlu memberikan apresiasi yang tulus dan umpan balik yang konstruktif kepada anak mengenai aktivitas membaca yang mereka lakukan.

 

Nah, kira-kira itulah beberapa tips yang bisa diterapkan untuk menumbuhkan minat baca pada anak, baik yang sudah maupun belum bisa membaca. Semoga bermanfaat bagi para orang tua. 😊

 

Referensi:

Gambrell, L.B. (2011). Seven rules of engagement: What’s wost important to know about motivation to read. The Reading Teacher, 65, hal. 172-178

Gewati, M. (2016). Minat baca Indonesia ada di urutan ke-60 dunia. Diakses dari http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia, pada 7 Desember 2017, pukul 02.00

Pecjak, S., & Kosir, K. (2004). Pupils’ reading motivation and teacher’s activities for enhancing it. Review of Psychology, 11, 1-2, hal. 11-24

Saw, V.A. (2014). Creating classroom environments that foster students’ reading motivation. Thesis. University of Toronto.

Episode Cakrawala

Dealing With Bullying

Oleh: Fina Febriani, M.Psi., Psikolog
*disampaikan dalam diskusi WhatsApp Group IIP Jakarta 02, Kamis, 23 November 2017

A. MEMAHAMI BULLYING

1. Definisi Bullying

Bullying berasal dari kata bully yang berarti penggertak, penganiaya.

Bullying didefinisikan sebagai perilaku agresif yang dilakukan dengan sengaja dan berulang oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuatan lebih besar dengan tujuan menyakiti individu atau kelompok lain yang lebih lemah (National Centre Against Bullying, 2017).

Perlu diperhatikan, tidak semua perilaku agresif atau konflik merupakan bullying. Bullying terjadi apabila mengandung 3 hal berikut:

  • Intentional aggressiveness – perilaku agresif yang disengaja
  • Imbalance power – ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban
  • Repetition – terjadi berulang atau memiliki potensi untuk terulang sehingga menimbulkan rasa takut dan cemas pada korban

2. Bentuk-bentuk Bullying

Bullying bisa terjadi dalam berbagai bentuk, diantaranya:

  • Fisik (memukul, menendang, merusak atau mengambil barang milik orang lain, dll)
  • Verbal (mengolok-olok, menakut-nakuti, mengancam, menggertak, dll)
  • Sosial/Relasional (mengucilkan, menyuruh orang lain untuk memusuhi korban, menyebar rumor, mempermalukan korban di depan umum, dll)
  • Cyberbullying (mengintimidasi, mempermalukan, atau meneror melalui sarana elektronik, seperti SMS, e-mail, media sosial, chat room, dll)
  •  Sexual bullying (melontarkan jokes atau komentar terkait seksual, mengirim video atau gambar tidak senonoh, menarik pakaian dalam korban, dll)

3. Kapan, Siapa, dan Di Mana?

  • Umumnya terjadi pada situasi dimana tidak ada atau hanya sedikit pengawasan dari orang dewasa atau pihak yang berwenang.
  • Bisa dilakukan baik oleh teman sebaya maupun orang yang lebih dewasa; baik perempuan maupun laki-laki.
  • Bisa terjadi di berbagai tempat, seperti lingkungan sekitar rumah, sekolah, dalam perjalanan antara rumah dan sekolah, bis sekolah, taman bermain, internet, dll.

4. Kenapa Seseorang Mem-bully?

Banyak hal yang bisa melatarbelakangi, antara lain:

  • Biasa terpapar tontonan atau games bertema kekerasan
  • Merasa tidak aman, memiliki harga diri yang rendah, dan merasa tidak dicintai
  • Kurang mendapat perhatian di keluarga atau mendapat perlakuan agresif dari keluarga
  • Mengalami perubahan dalam keluarga, seperti perceraian orang tua atau meninggalnya orang tercinta
  • Terbiasa bertindak semaunya ketika di rumah dan ingin mencobanya juga ketika di sekolah
  • Lingkungan rumah terlalu mengekang sehingga pelaku ingin menunjukkan bahwa ia bisa mengontrol situasi atau seseorang di luar rumah
  • Ingin menunjukkan bahwa dirinya kuat, populer, dan pantas dijadikan pemimpin
  • Kurang memiliki keterampilan komunikasi dan kontrol terhadap impuls
  • Kurang memiliki pemahaman akan perasaan orang lain dan tidak mampu melihat dari perspektif orang lain
  • Kurang memahami konsekuensi atas perilakunya
  • Pada pelaku dewasa, alasan mem-bully bisa berupa latar belakang keluarga yang tidak harmonis, ingin mendisiplinkan anak namun tidak tahu cara lain selain dengan kekerasan, pernah melakukan kekerasan fisik atau seksual terhadap korban dan tidak ingin korban buka mulut, dll.

5. Kenapa Seseorang Di-bully?

Seseorang menjadi sasaran bullying bisa karena:

  • Terlihat lemah dan tidak bisa membela diri
  • Kurang populer, kurang gaul, dan tidak punya banyak teman
  • Suka mencari perhatian dan dianggap ‘ngeselin’
  • Terlihat ‘berbeda’ di mata teman-teman, misalnya karena berasal dari ras minoritas, memiliki aksen yang berbeda ketika bicara, memiliki kekurangan fisik/mental, atau justru sangat menonjol (sangat cantik, sangat kaya, sangat pintar), dll.

6. Dampak Bullying

Bullying bisa memberikan dampak yang sangat negatif, baik terhadap korban maupun pelaku.

Pada Korban:

  • Mengalami beragam emosi, seperti marah, takut, tidak berdaya, terisolasi, atau cemas. Jika tidak tertangani dengan baik, kemarahan bisa berubah menjadi dendam dan mendorong korban untuk menjadi pelaku bullying pula.
  • Merasa bahwa hal itu terjadi karena kesalahannya dan akhirnya menjadi rendah diri.
  • Mengalami gangguan tidur dan sakit fisik, seperti sakit kepala, sakit perut, dll.
  • Sulit berkonsentrasi pada pelajaran atau cenderung ingin menghindari sekolah.

Pada Pelaku:

  • Mendapat label negatif yang bisa memperparah perilaku negatifnya
  • Terjebak dalam kebiasaan mem-bully dan sulit berubah
  • Sulit membangun hubungan interpersonal yang positif
  • Tidak bahagia

B. YANG PERLU ORANG TUA LAKUKAN

Bila Anak Ibu Korban Bullying:

1. Kenali Tanda-tandanya

Tidak semua anak mau atau berani berterus terang ketika di-bully. Ibu bisa mengenali beberapa tanda yang lazim muncul, diantaranya:

  • Mengalami luka yang tidak diketahui penyebabnya, misalnya lebam. Anak umumnya tidak mau jujur kapan dan karena apa luka itu muncul.
  • Anak menjadi lebih moody, kurang percaya diri, cemas, menarik diri, ingin menempel terus pada orang tua, atau sebaliknya, menjadi agresif.
  • Secara tiba-tiba enggan terlibat dalam aktivitas kelompok.
  • Tiba-tiba mengompol, mimpi buruk, sulit tidur, tidak nafsu makan, atau sering mengeluh sakit kepala, sakit perut, dll.
  • Tidak mau mengerjakan tugas sekolah, marah pada guru, menghindari sekolah, atau terus menerus menanyakan kapan liburan sekolah.
  • Mengalami kehilangan atau kerusakan barang-barang personal, sering meminta uang jajan atau peralatan sekolah baru.
  • Pulang ke rumah lebih awal atau lebih lambat dari biasanya.
  • Pulang ke rumah dalam keadaan sangat lapar (karena uang jajan atau bekal makannya diambil oleh orang lain).

2. Pastikan Kebenarannya

Jika ibu melihat tanda-tanda tersebut, ibu perlu memastikannya dengan menanyakan langsung pada anak. Langkahnya:

  • Ambil waktu berdua dengan anak. Usahakan saat mood anak sedang baik dan tidak ada gangguan dari orang lain, termasuk anak yang lebih kecil.
  • Tanyakan tentang aktivitasnya di sekolah maupun di lingkungan lain yang ibu curigai menjadi lokasi bullying (misalnya lingkungan main di rumah, klub hobi yang diikuti anak, dll). Akan tetapi, jangan berharap langsung mendapat jawaban lengkap dan to the point. Biarkan obrolan mengalir dan berlangsung serileks mungkin.
  • Hindari pertanyaan yang terlalu general, seperti “Bagaimana hari kamu tadi?” Ajukan pertanyaan yang terbuka tapi fokus, misalnya “Apa yang kamu suka dari kegiatan hari ini?” atau “Kamu duduk di samping siapa waktu naik bis sekolah?”
  • Ibu bisa sampaikan hasil observasi ibu terhadap anak, misalnya “Beberapa hari ini ibu amati kamu kelihatan murung. Ada apa?” Hindari nada bicara yang menekan karena akan membuat anak semakin tertutup.
  • Jika anak masih enggan bicara, ibu bisa sampaikan perasaan ibu dengan harapan anak juga akan terbuka mengenai perasaannya, misalnya dengan bilang, “Ibu kangen deh liat kakak yang ceria…”

3. Beri Respons yang Tepat

Jika ternyata benar anak ibu mengaku mengalami bullying, maka:

  • Tetap tenang, dengarkan, dan beri dukungan. Menunjukkan kemarahan atau kepanikan akan membuat anak stres.
  • Beri perhatian penuh pada cerita anak, terutama jika anak bercerita dengan nada serius. Catat dalam hati nama-nama atau detail penting tentang kejadian bullying yang diceritakan anak. Saat sudah tidak bersama anak, ibu bisa menuliskannya agar tidak lupa.
  • Setelah anak bercerita, beri ia apresiasi karena sudah berani bercerita.
  • Jangan menyalahkan siapapun atas kejadian ini. Lebih baik diskusikan dengan anak langkah apa yang sebaiknya diambil berikutnya.
  • Jangan pernah menjanjikan pada anak bahwa ibu akan menjadikan kasus ini tetap menjadi rahasia antara ibu dan anak, melainkan coba yakinkan anak bahwa apapun langkah yang diambil selanjutnya, orang tua akan menjaga anak dari bahaya yang mungkin mengancam anak.

Catatan: Pada anak yang lebih kecil, ada kecenderungan mereka belum bisa membedakan fakta dan imajinasi sehingga cenderung melebih-lebihkan cerita. Ibu bisa mengantisipasinya dengan mengkroscek kebenaran ceritanya ke pihak lain yang mungkin terlibat.

4. Tangani Masalahnya

Ibu bisa mengambil langkah-langkah berikut untuk menangani kasus bullying:

  • Jika bullying terjadi di sekolah, segera kontak pihak sekolah untuk mendiskusikan masalah ini. Ingat, jangan langsung menyalahkan pihak sekolah. Jelaskan secara baik-baik apa yang sudah ibu ketahui dari anak. Catatan yang ibu buat mengenai detail kejadian bisa membantu ibu saat menjelaskan. Diskusikan solusinya bersama pihak sekolah.
  • Jika ibu merasa anak perlu bantuan ahli untuk menangani kondisi psikologisnya, segera ajak anak menemui pihak profesional, seperti psikolog, psikiater, dll.
  • Bantu anak agar lebih tangguh menghadapi bullying, dengan:
    • Bangun kepercayaan dirinya
    • Anjurkan anak untuk bergabung dalam kelompok sebaya yang positif di sekolah dan sebisa mungkin menghindari situasi sepi atau beraktivitas sendirian.
    • Ajarkan anak untuk bersikap asertif ketika menghadapi konflik.
    • Ajarkan anak untuk tidak membalas perilaku bullying dengan tindakan agresif pula.
    • Latih anak untuk melakukan beberapa keterampilan dalam menghadapi bullying, seperti:
      • Bersikap tenang, tidak menunjukkan respons marah atau sedih karena itulah yang diharapkan pelaku.
      • Menanggapi ejekan dari pelaku dengan humor.
      • Berkata dengan tegas “Stop. Saya tidak suka diperlakukan seperti itu.”
      • Pergi dari lokasi tanpa menghiraukan pelaku.
      • Atau, melapor pada orang dewasa terdekat jika kondisi sudah tidak bisa dikendalikan.

Bila Anak Ibu Pelaku Bullying:

Mungkin awalnya ibu kaget. Anak pun mungkin akan memberikan berbagai alasan untuk mengelak, misalnya dengan mengatakan dia hanya bercanda atau menyalahkan teman lainnya. Meski begitu, jangan abaikan situasi ini. Bagaimanapun, anak ibu juga butuh bantuan untuk mengubah perilakunya.

Berikut langkah yang bisa ibu lakukan:

  • Ambil waktu untuk bicara berdua dengan anak. Tanyakan padanya apakah ia sadar apa yang sudah ia lakukan dan apa dampaknya bagi orang lain. Jika ia belum paham, jelaskan padanya.
  • Ajak anak untuk memikirkan cara agar ia bisa menghentikan perilaku tersebut dan beri apresiasi jika ia dapat menemukan caranya.
  • Jangan label anak sebagai tukang bully atau anak nakal. Saat bicara, lebih baik sebutkan perilaku spesifik yang menjadi masalah agar anak tahu bahwa yang tidak bisa diterima adalah perilakunya, bukan individunya.
  • Evaluasi situasi di rumah ibu selama ini. Adakah tontonan kekerasan? Seringkah terjadi konflik? Apakah anak terlalu dibebaskan melakukan berbagai hal semaunya tanpa konsekuensi? dll.
  • Arahkan anak untuk mengikuti aktivitas yang positif, seperti karang taruna atau klub hobi, untuk menyalurkan energi dan keterampilan memimpinnya.
  • Beri anak tugas untuk melatih tanggung jawabnya, misalnya merawat binatang peliharaan di rumah.
  • Bekerja sama dengan sekolah untuk selalu bertukar info mengenai perilaku anak di sekolah.

Sebagai kesimpulan, baik korban maupun pelaku bullying sama-sama perlu dibantu, dan dukungan moril dari keluarga merupakan bantuan terpenting dalam menangani kasus bullying. 🙂


Referensi:

Family Support Agency & Barnardos’ National Children’s Resource Centre. (2007). Parenting positively: Coping with bullying for parents of children between 6 and 12. Diunduh dari https://www.barnardos.ie/assets/files/publications/free/parenting_positively_bullying_adults.pdf pada Minggu, 19 November 2017, pukul 13.00

Family Support Agency & Barnardos’ National Children’s Resource Centre. (2011). Parenting positively: Helping teenagers to cope with bullying. Diunduh dari https://www.barnardos.ie/resources-advice/publications/free-publications/parenting-positively-helping-teenagers-to-cope-with-bullying.html pada Minggu, 19 November 2017, pukul 14.00

National Centre Against Bullying. (2017). Definition of bullying. Diunduh dari https://www.ncab.org.au/bullying-advice/bullying-for-parents/definition-of-bullying/ pada Minggu, 19 November 2017, pukul 13.30

Papalia, D.E., & Feldman, R.D. (2012). Experience Human Development 12th Ed. New York: McGraw-Hill