Alhamdulillah… setelah sekian purnama, akhirnya seri Hijrah Nol Sampah ini berlanjut juga. đ
Mohon maafkan keterbatasan saya. Sebenarnya, lamanya tulisan ini keluar bukan hanya karena saya tidak sempat menuliskannya, tapi juga karena dua strategi terakhir dari 5R, yakni Recycle dan Rot, memang termasuk ‘sangat menantang’ bagi saya.
Kenapa begitu?
Hmm. Sebelum cerita lebih banyak, saya ingin sampaikan bahwa tulisan ini akan fokus membahas Recycle, setelah sebelumnya kita bahas tentang Refuse, Reduce, dan Reuse. Pembahasan strategi Rot diusahakan menyusul, tapi untuk waktu yang belum bisa ditentukan ya, karena progress saya sendiri masih nol besar untuk urusan yang satu itu. Hihi. Ampun.
Apa itu recycle? Mudahnya, recycle adalah mengolah kembali barang-barang yang sudah tidak terpakai menjadi sesuatu yang berguna. Biasa dikenal juga dengan istilah daur ulang atau upcycle (menaikkan fungsi barang dari tidak terpakai menjadi barang yang bisa dipakai kembali meski fungsinya berubah dari semula).
Recycle ini diterapkan untuk barang yang tidak bisa kita refuse, reduce, maupun reuse. Tujuannya adalah untuk mengurangi jumlah sampah yang akan berakhir mengenaskan di TPA.
Nah, sebelum melakukan recycle, ada tahapan yang mendahului, yaitu memilah sampah. Biasanya, sampah dipilah menjadi beberapa kategori, diantaranya sampah organik, plastik, kertas, kaca, elektronik, metal, dan kain.
Setelah dipilah, kita punya pilihan apakah akan menggarap sendiri jenis-jenis sampah tersebut untuk dijadikan barang tertentu, atau menyerahkannya ke pihak yang bisa mengelolanya dengan lebih tepat, seperti bank sampah, pengepul barang bekas, atau LSM yang bergerak di bidang pengelolaan sampah.
Sebenarnya, pada pekan pertama ketika materi recycle diberikan, saya sudah sempat melakukan recycle terhadap beberapa barang di rumah, diantaranya:
1. Kotak bekas sereal jagung
Saat itu, kebetulan di rumah sedang ada kotak bekas sereal jagung. Bentuknya kokoh dan masih rapi sekali. Karena sayang dibuang, saya sulaplah ia menjadi paper bag. Begini penampakan awalnya:
Dan begini setelah disulap:
2. Handuk yang sudah tidak lembut lagi
Di tulisan sebelumnya, saya sempat me-reuse popok tali untuk jadikan insert clodi. Namun, sesuai dugaan saya, insert ala ala dari popok tali itu tidak memadai lagi ketika bayi semakin besar. Dan benar, saat bayi saya memasuki usia 7 bulan, insert popok tali itu terpaksa dipensiunkan, disimpan kembali untuk bayi berikutnya #eh.
Saya kembali memutar otak. Dorongan untuk beli insert tambahan hampir berhasil menjebak saya jika saja ketika itu saya tidak melongok isi lemari dan menemukan sebuah handuk kecil yang sudah jarang dipakai. Handuk ini secara tampilan masih bersih, namun permukaannya sudah agak kasar sehingga tidak nyaman lagi untuk digunakan.
Akhirnya saya gunting handuk tersebut menjadi 3 bagian, masing-masing saya lipat menjadi dua lapis, lalu saya jahit tepinya. Dan taraaaa, jadilah insert ala ala ini. Hihi..
Kalau soal daya serap, insert handuk ini kece banget, lho! Bahkan mungkin lebih kece dari insert bamboo yang saya miliki sebelumnya. Hanya saja, karena permukaannya agak kasar, insert ini akan membuat tidak nyaman bila bersentuhan dengan kulit bayi langsung, sehingga tidak bisa digunakan pada clodi tipe cover, hanya bisa digunakan pada clodi tipe pocket.
Nah, itu baru 2 barang dari sekian banyak sampah di rumah saya yang berhasil saya recycle. Bagaimana dengan yang lainnya?
Begini, kesalahan terbesar saya di pekan-pekan pertama menerapkan recycle adalah saya memilah dan mengumpulkan sampah sesuai jenisnya tanpa lebih dulu mencari pihak yang bisa menampung sampah terpilah saya. Waktu itu saya berpikir, “Ah, rasa-rasanya saya bisa urus semua sampah saya sendiri.” Maka, setiap ada sampah plastik, langsung saya simpan di satu sudut rumah dengan maksud akan mengolahnya segera menjadi prakarya tertentu. Kertas juga demikian.
Di awal memang bisa saya kerjakan (namanya juga sedang semangat 45 :D). Tapi lama kelamaan, tidak terkejar lagi. Dengan kondisi punya 2 balita yang sedang aktif-aktifnya, saya tidak punya banyak kesempatan untuk berkutat dengan segala macam prakarya itu, sedangkan sampah semakin hari semakin bertumpuk.
Hasilnya: saya stres sendiri. Saya merasa diteror oleh tumpukan sampah saya. Dan akhirnya saya menyerah. Sampah-sampah terpilah itu pun saya pasrahkan lagi ke tong sampah besar untuk diangkut oleh tukang sampah, dan itu berarti mereka akan tercampur kembali dan berakhir di TPA.
Fiuh. Mission failed. Tapi dari situ saya jadi paham mengapa data menyebutkan bahwa sampah yang berhasil di-recycle hanya sedikit dari keseluruhan sampah yang ada di dunia, sebab saya sudah rasakan sendiri, me-recycle sampah itu butuh waktu dan energi. Alangkah baiknya jika kita bisa mengusahakan untuk mencegah sampah dengan refuse, reduce, dan reuse. Karena itu berarti, waktu dan energi yang kita gunakan untuk me-recycle sampah bisa dialihkan ke hal lain yang lebih bermanfaat.
Oke, kembali ke urusan recycle sampah saya di rumah. Karena sampah terpilah tadi sudah saya pasrahkan (kembali) ke tukang sampah, kini saya harus mengatur strategi dari awal lagi.
Kali ini, saya memutuskan bahwa jika saya belum bisa mengolah semua sampah anorganik yang saya hasilkan, maka saya akan mulai mengurus sampah dari yang jumlahnya cukup dominan saja dulu, yaitu kemasan tetrapack.
Kenapa sampah jenis ini cukup dominan di rumah saya?
Sebenarnya, untuk sebagian besar barang konsumsi di rumah, seperti sabun, shampoo, beras, sereal, dll, saya dan keluarga sudah mencoba menerapkan pembelian dalam kemasan besar, bahkan jika memungkinkan kemasan paling besar yang disediakan di toko. Tapi, untuk susu UHT, saya masih membeli dalam kemasan kecil karena frekuensi anak saya meminumnya tidak tentu. Ada kalanya dia minum beberapa kotak dalam sehari, namun ada kalanya juga tidak sama sekali. Saya khawatir jika beli dalam kemasan besar, dan anak saya tidak menghabiskannya dalam 3 hari, susunya akan rusak dan terbuang. Keputusan ini mau tidak mau memang berdampak pada banyaknya sampah kemasan tetrapack di rumah.
Akhirnya, mulailah saya fokus mengurus kemasan tetrapack. Secara umum, saya mengikuti teknik yang dianjurkan oleh Perusahaan Tetra Pak Indonesia ini.
Sumber: https://www.facebook.com/TetraPakID/photos/a.114993329157051/257123861610663/?type=1&theater
Hanya saja, karena saya menyimpannya di rumah dan kemungkinan baru akan terkumpul banyak dalam waktu yang lama, biasanya akan saya cuci sedikit bagian dalamnya. Caranya adalah dengan menggunting ujung tepinya, lalu isi dengan air sambil dikocok-kocok, bilas terus sampai warna susunya hilang dan airnya menjadi bening. Tujuannya adalah agar tidak mengundang semut atau menimbulkan bau.
Terakhir, saya masukkan juga sedotan dan plastik sedotannya ke dalam kemasan. Kira-kira begini penampakannya:
Setelah diolah begini, pe’er saya berikutnya adalah mencari tahu kemana menyalurkannya.
Sebenarnya, saya sudah dapat info bahwa Tetra Pak Indonesia menyediakan dropbox di beberapa titik. Namun, setelah saya cek daftarnya, tidak ada lokasi yang terjangkau oleh emak-emak dengan dua balita begini. Hihi.
Akhirnya, saya cek ulang di beberapa website. Ternyata bisa juga dikirim ke alamat kantor Tetra Pak.
Okelah. Ini mungkin masih lebih mudah karena tidak jauh dari rumah saya ada kantor jasa pengiriman barang.
Maka, setelah terkumpul agak banyak, saya masukkan kemasan tetrapack ini ke dalam kotak bekas sereal, lalu saya bungkus dengan kertas untuk kemudian saya kirim ke kantor Tetra Pak Indonesia.
Dan biaya pengirimannya: Rp9.000. Hmm…
Sepulang dari kantor kurir, saya berpikir ulang. Sebenarnya, di satu sisi saya senang karena bisa menyalurkan sampah tetrapack ini ke pihak yang bisa dengan tepat mengolahnya. Tapi di sisi lain, sepertinya kok tidak efisien ya. Selain memakan biaya besar, pengiriman ini juga akan menghasilkan sampah lainnya, yakni sampah plastik pembungkus paket. Sebab meskipun saya membungkusnya hanya dengan kotak kertas dan dilapisi pembungkus kertas, pihak kurir pasti akan tetap melapisinya lagi dengan plastik agar barangnya aman.
Oke fine. Sepertinya saya memang harus cari penyalur lain.
Saya pun mulai berpikir untuk cari info tentang bank sampah. Ide ini tidak saya follow up sebelumnya karena di wilayah dekat rumah saya, bank sampah tidak terlalu nge-hits. Bahkan, kalau saya tanya ke warga sekitar tentang lokasi bank sampah terdekat, banyak yang bingung dan balik bertanya, “Hah, Gang Sampah, Mbak?”
Xixixi… đ
Akhirnya, saya mencari info tentang bank sampah terdekat dari internet saja. Ternyata ada. Memang harus dicapai dengan kendaraan, tapi sepertinya cukup bisa jadi solusi untuk saat ini. Saya pun cek ricek kesana, tepatnya ke Bank Sampah RW 3 Malaka Sari, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Setelah mengobrol dengan pengurusnya, saya baru tahu bahwa ternyata bank sampah ini adalah salah satu Bank Sampah Percontohan Nasional! Ya ampun, kemana saja saya selama inih? XD
Bank sampah ini menerima cukup banyak jenis sampah, sebagaimana tercantum di daftar harga ini:
Sejak mengunjungi bank sampah ini, saya jadi semangat memilah sampah lagi. Ditambah lagi, sebuah tugas negara mempertemukan saya dengan seorang ibu yang merupakan aktivis sampah yang tinggal tidak jauh dari rumah saya. Beliau biasa membuat ecobrick dan membuat kreasi dari pakaian bekas. Jadi, meski bank sampah tidak menerima plastik kemasan berwarna dan kain bekas, saya merasa tenang karena sudah tahu kemana saya bisa menyalurkannya. Hihi.
Jadilah dua minggu terakhir ini saya mulai memilah sampah lagi. Begini penampakannya sejauh ini:
Di dalam kotak itu ada kemasan tetrapack, kertas bekas, kardus kemasan makanan, sikat gigi bekas, dan botol conditioner bekas. Di dalam tas biru ada potongan-potongan kertas sisa hasil menggunting. Dan terakhir, ada kain perca.
Untuk sampah plastik, penampakannya seperti ini:
Plastik bening itu adalah plastik bekas kemasan makanan, seperti roti tawar. Sedangkan yang ada di dalam wadah biru itu adalah plastik kemasan berwarna yang sudah saya potong-potong. Setelah dicuci dan dikeringkan, plastik berwarna itu memang sengaja langsung saya potong kecil agar tidak makan tempat. Rencananya akan saya kumpulkan dulu hingga penuh, baru saya serahkan ke pembuat ecobrick. Atau jika saya punya kesempatan, mungkin saya akan membuat ecobrick sendiri. Xixixi.
Nah, sekian dulu hasil sharing saya untuk edisi Recycle.
Semoga ada hal bermanfaat yang bisa diambil yaaa..
Semangat go green! đ